“Dibandingin kita menegur seperti ‘lu enggak boleh ya ngomong gitu ya’. Akan tetapi, kita lebih bilangnya untuk coba tahu tempat dan waktu gitu, di mana kata tersebut boleh digunakan,” ucap Priscila.
Senada dengan Priscila, Charlenne Kayla Roeslie juga tidak menyetujui potensi hukuman pidana saat seseorang menggunakan kata 'anjay'.
“Kalaupun mau diperkarakan gitu, pembuktiannya dari mana kalau emang si komunikator mau memaki? Jatuhnya subyektif banget,” ungkap Charlenne saat dihubungi Kompas.com pada Selasa (1/9/2020).
Mahasiswi Universitas Multimedia Nusantara ini menganggapkalo penggunaan gaya bahasa tidak dapat menjadi masalah. Apalagi bila pemakaiannya sesuai dengan tempat, situasi, dan budaya setempat. “Kasar enggak kasarnya suatu kata, pun, tergantung konteks.
Misalnya, kata ‘tai’ gitu, kan sebenarnya sama aja sama kata ‘tinja’. Namun di masyarakat, ‘tinja’ dinilai enggak kasar dan "tai" dinilai kasar,” contohnya.
Melihat fleksibilitas dan peluang subjektivitas pemaknaan bahasa, Charlenne mengaku nggak mau bila hal ini menjadi aturan seperti beberapa pasal karet dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pasal karet merupakan sebutan dari sebuah pasal atau UU yang dianggap tidak memiliki tolok ukur yang jelas.
Mirip dengan pernyataan Priscila, Charlenne juga menyarankan Komnas PA untuk menangani masalah lain yang lebih penting nilainya.
“Kekerasan terhadap anak, misalnya. Lebih penting. Lebih urgent,” kata Charlenne. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mahasiswa soal Polemik “Anjay”: Banyak Hal Lain yang Lebih Penting"