Pembantaian Rohingya mencapai puncaknya pada 2017, menjadi salah satu pelarian pengungsi tercepat da terbanyak di dunia.
Dalam beberapa minggu, tiga perempat dari satu juta orang tanpa kewarganegaraan diusir dari rumah mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, saat pasukan keamanan menyerang desa mereka dengan senapan, parang, dan penyembur api.
“Orang-orang tua dipenggal, dan gadis-gadis muda diperkosa, kerudung mereka dirobek untuk digunakan sebagai penutup mata,” kata saksi mata dan korban selamat.
Dokter lintas batas memperkirakan bahwa setidaknya 6.700 orang Rohingya, termasuk 730 anak-anak, meinggal dunia akibat kekerasan dari akhir Agustus hingga akhir September 2017.
“Sekitar 200 permukiman Rohingya dihancurkan seluruhnya dari 2017 hingga 2019,” kata Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan tahun lalu, Tim Misi Pencari Fakta untuk Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB mengatakan, ada tindakan genosida yang dilakukan Myanmar.
“Ada risiko serius bahwa tindakan genosida dapat terjadi atau terulang dan bahwa Myanmar gagal dalam kewajibannya untuk mencegah genosida.
Myanmar juga gagal untuk menyelidiki genosida dan untuk memberlakukan undang-undang yang efektif yang mengkriminalisasi dan menghukum genosida," kata Tim itu.
Pemerintah Myanmar telah membantah adanya kampanye yang diatur terhadap Rohingya.
Desember lalu, Aung San Suu Kyi, pemimpin rakyat negara itu, membela Myanmar dari tuduhan genosida.