Awalnya, hanya sebagian kecil dari para imigran Jawa di Suriname dapat berbahasa Belanda. Mereka juga belum mengenal bahasa masyarakat setempat, seperti Sranan Tongo, Hindi, Amerindian, dan Bushnegro.
Para imigran umumnya bukan pekerja terlatih, terkecuali sejumlah kecil yang berprofesi sebagai petani, pekerja perusahaan gula, dan buruh perkebunan kopi atau coklat.
Kondisi tersebut diperburuk oleh kenyataan bahwa para penguasa Belanda yang otokratik, tidak memberi kesempatan bagi imigran Jawa untuk berkembang.
Di samping itu, karena Indonesia pada saat itu masih berada di bawah kekuasaan Belanda, maka sebagian besar imigran Jawa tercatat sebagai warga Belanda. Tidak ada perwakilan khusus yang dapat menyalurkan aspirasi atau memberi perlindungan kepada masyarakat Jawa pada awal keberadaan mereka di Suriname.
Satu-satunya fasilitas yang dapat mereka nikmati adalah perlindungan kerja yang diberikan oleh para majikan mereka.
Namun, para majikan ini pun, dalam peranannya sebagai ujung tombak perekonomian Belanda, lebih mengutamakan hasil kerja para buruh daripada meningkatkan standar hidup bawahannya.
Ditinjau dari segi ini, maka pembukaan Komisariat Indonesia segera setelah proklamasi kemerdekaan RI, sangat penting bagi masyarakat keturunan Jawa di Suriname.
Faktor lain penyebab keterbelakangan masyarakat keturunan Jawa ini adalah kuatnya memelihara pola kehidupan tradisionalnya.
Source | : | Kontan.co.id |
Penulis | : | None |
Editor | : | Nicolaus |
Komentar