Febrio mengatakan, sejak bulan Juni 2020 ini pengeluaran konsumsi sudah mulai mengalami peningkatan yakni seperti penjualan mobil, penjualan semen mencapai 4.97 juta ton, kemudian sektor ritel dan properti juga turut menunjukan perbaikan serta konsumsi listrik maupun indeks manufaktur Indonesia yang turut membaik pada Agustus 2020.
“Itu tanda-tanda bahwa Indonesia sudah menunjukan adanya perbaikan pada perekonomiannya. Namun hal itu tidak bisa mendorong banyak pemulihan jika dibandingkan tahun lalu kalau kita tidak berhasil melakukan 3M,” katanya.
Sehingga, obat mujarab yang paling bisa mendorong pemulihan ekonomi dan resesi Indonesia adalah menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan (3M).
“Ditambah lagi apabila upaya penanganan pandemi melalui penemuan vaksin yang lebih cepat maka Indonesia akan kembali maju ke zona ekspansi,” harap Febrio.
Adapun, Febrio mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup bagus disiplin fiskalnya. Sebab, Indonesia fokus pada efisien anggaran yang disusun misalnya memotong berbagai anggaran yang tidak memberikan nilai tambah.
Sehingga, di tahun 2020 Indonesia tidak kaget lagi apabila defisit anggaran harus diperlebar hingga 6,34%. Maka rasio utang juga turut meningkat ke 36% di tahun 2020.
“Adapun defisit di tahun depan dalam postur APBN sementara akan mencapai 5,7% maka pasti utang akan naik menjadi 40%. Dan ini penting apakah kita bisa kelola pembiayaannya dengan risiko-risiko yang harus diantisipasi,” tambah Febrio.
Tak hanya memikirkan berbagai risiko pelebaran defisit, pemerintah juga berupaya mendorong pemulihan ekonomi lewat anggaran belanja negara di tahun 2021 yang sebesar Rp 2.747 triliun.
Anggaran ini akan betul-betul diarahkan ke program-program untuk menolong masyarakat, mendorong berjalannya investasi serta alokasi belanja pemerintah yang lebih efisien.
“Ini bentuk-bentuk yang dilakukan untuk memastikan bahwa uang kita memang terbatas tapi kita akan manfaatkan setajam mungkin guna mendorong perekonomian Indonesia yang positif,” harapnya.