Gridhot.ID - Peristiwa G30S hingga sekarang masih menjadi isu yang berkepanjangan di Indonesia.
Salah satu yang sering disoroti adalah jenderal-jenderal militer Indonesia yang menjadi korban.
Korban-korban ini dibuang ke Sumur tua di Lubang Buaya itu berukuran kecil dan hanya cukup dimasuki satu orang.
Peristiwa berdarah itu memakan korban 10 orang, enam di antaranya merupakan jenderal dan satu perwira. ( sulitnya evakuasi jenazah para jenderal korban G30S/PKI )
Dikutip dari Intisari, detik-detik penggalian tempat pembuangan jenderal diceritakan oleh Maulwi Saelan, pengawal pribadi Presiden Pertama RI Soekarno sekaligus Wakil Komandan Pasukan Tjakrabirawa dalam buku bertajuk 'Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno'.
Presiden Soekarno mengetahui para jenderal diculik pada 1 Oktober 1965 jelang siang hari.
Gugurnya para jenderal militer dalam G30S/PKI membuat Soekarno bersedih.
Maulwi Saelan mengatakan Soekarno sedih karena Jenderal Ahmad Yani yang merupakan jenderal yang amat disayanginya ikut menjadi korban.
"Karena nasib para jenderal dan seorang perwira pertama belum diketahui, Presiden memerintahkan saya untuk mencari tahu nasib mereka," tulis Maulwi dalam bukunya.
Pada 2 Oktober 1965, Presiden Soekarno telah memanggil semua Panglima Angkatan Bersenjata bersama Waperdam II Leimena dan para pejabat penting lainnya dengan maksud segera menyelesaikan persoalan apa yang disebut G30S/PKI.
Tindakan Soekarno tersebut merupakan langkah standar sebab saat itu ia adalah Panglima Tertinggi ABRI.
"Pada tanggal 3 Oktober 1965 pagi, saya menghadap Presiden Soekarno, menyampaikan laporan tentang perkembangan terakhir termasuk penemuan seorang agen polisi,” kata Maulwi.
Setelah mempelajari keterangan seorang agen polisi yang bernama Sukitman, Maulwi bersama Letnan Kolonel Ali Ebram dan Sersan Udara PGT Poniran menumpang Jip Toyota No.2 berangkat menuju Halim Perdanakusuma.
Sekadar informasi, ternyata sewaktu penculikan para jenderal pada 1 Oktober 1965, Sukitman sedang bertugas dan ikut dibawa ke Lubang Buaya, yang akhirnya ditemukan oleh patroli Tjakrabirawa.
Mereka terlebih dahulu melapor dan bertemu dengan Kolonel AU/PNB Tjokro, perwira piket Halim Perdanakusuma.
“Saya sampaikan maksud kedatangan saya,” kata Maulwi.
“Kami dibantu seorang anggota TNI AU berpangkat letnan muda penerbang, mencari lokasi yang diceritakan oleh agen polisi tesebut.”
Jip Toyota selalu membawa satu set generator listrik berkekuatan 1 PK yang sewaktu-waktu dapat digunakan karena pada waktu itu arus listrik sering mati-hidup.
Mereka menemukan sebuah rumah atau pondok kecil di Lubang Buaya yang di dekatnya terdapat sebuah pohon besar.
"Pada tanggal 3 Oktober 1965 pagi, saya menghadap Presiden Soekarno, menyampaikan laporan tentang perkembangan terakhir termasuk penemuan seorang agen polisi,” kata Maulwi.
Setelah mempelajari keterangan seorang agen polisi yang bernama Sukitman, Maulwi bersama Letnan Kolonel Ali Ebram dan Sersan Udara PGT Poniran menumpang Jip Toyota No.2 berangkat menuju Halim Perdanakusuma.
Sekadar informasi, ternyata sewaktu penculikan para jenderal pada 1 Oktober 1965, Sukitman sedang bertugas dan ikut dibawa ke Lubang Buaya, yang akhirnya ditemukan oleh patroli Tjakrabirawa.
Mereka terlebih dahulu melapor dan bertemu dengan Kolonel AU/PNB Tjokro, perwira piket Halim Perdanakusuma.
“Saya sampaikan maksud kedatangan saya,” kata Maulwi.
“Kami dibantu seorang anggota TNI AU berpangkat letnan muda penerbang, mencari lokasi yang diceritakan oleh agen polisi tesebut.”
Jip Toyota selalu membawa satu set generator listrik berkekuatan 1 PK yang sewaktu-waktu dapat digunakan karena pada waktu itu arus listrik sering mati-hidup.
Mereka menemukan sebuah rumah atau pondok kecil di Lubang Buaya yang di dekatnya terdapat sebuah pohon besar.
Dilakukan pencarian di sekitarnya dan ditemukan sebidang tanah yang sudah tidak digunakan, tetapi terlihat tanda mencurigakan seperti baru dipakai.
Di tempat itu, tumpukan dedaunan dikorek-korek dan terlihat permukaan sebuah sumur tua.
Karena tidak memiliki peralatan untuk menggali tanah, mereka meminta bantuan warga sekitar untuk menggali sumur itu.
Tak berapa lama, muncul pasukan RPKAD dipimpin Mayor C.I. Santoso dengan membawa agen polisi Sukitman sebagai petunjuk jalan, dan ikut pula ajudan Jenderal Ahmad Yani, Kapten CPM Subardi.
“Setelah mendapat penjelasan dari kami dan dicocokkan dengan keterangan agen polisi tersebut,” kata Maulwi, “penggalian dilanjutkan.”
Penggalian sulit dilakukan karena lubang sumur itu hanya pas untuk satu orang, proses penggalian memakan waktu lama.
Hari mulai gelap, belum ditemukan tanda-tanda yang mencurigakan. Generator milik Tjakrabirawa dihidupkan untuk menerangi proses penggalian.
Lewat tengah malam mulai tercium bau tak sedap.
Baca Juga: Sindir Donald Trump, China: Sikap Menyalahkan Hanya Akan Membawa Bencana yang Lebih Besar
Setelah penggalian cukup dalam dan terus digali, akhirnya ditemukan sebuah tangan.
Penggalian dihentikan sementara karena orang-orang tidak tahan dengan bau yang keluar dari sumur.
Setelah berunding dengan C.I. Santoso, disepakati untuk melaporkan hal itu kepada Pangkostrad Mayjen Jenderal Soeharto guna instruksi selanjutnya.
Dan, untuk penggalian selanjutnya, diperlukan tenaga dan peralatan khusus misalnya masker dan tabung oksigen seperti yang dimiliki pasukan katak KKO.
Saat itu sudah pukul 03.00.
“Rombongan saya pulang untuk salat Subuh dan istirahat karena mulai merasa flu,” kata Maulwi.
“Selanjutnya, saya perintahkan Letnan Kolonel Marokeh Santoso, Kepala Staf Resimen Tjakrabirawa, untuk menggantikan dan mewakili saya. (*)
Artikel ini telah tayang di tribunjabar.id dengan judul "Sulitnya Evakuasi Jenazah Para Jenderal Korban G30S/PKI, Ini Detik-detiknya Menurut Saksi Sejarah"