Laporan Wartawan GridHot, Desy Kurniasari
GridHot.ID - Demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja terjadi di sejumlah daerah.
Di Jakarta, pada Kamis (8/10/2020) juga terjadi aksi unjuk rasa di sejumlah titik.
Salah satunya ialah di kawasan Gambir, Jakarta Pusat.
Jurnalis dari berbagai media pun ikut turun untuk melaporkan aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja dari lapangan.
Diberitakan GridHot sebelumnya, seorang wartawan media online merahputih.com bernama Ponco Sulaksono diduga hilang saat meliput aksi demonstrasi penolakan UU Omnibus Law di kawasan Monas Gambir Jakarta Pusat hingga Kamis (8/10/2020).
Hingga pukul 23.30 WIB, Ponco masih belum dapat diketahui keberadaannya.
Kepala Kompartemen News MerahPutih.com Alwan Ridha Ramdani mengatakan Ponco Sulaksono terakhir kali mengirim berita tentang demo penolakan UU Omnibus Law di kawasan Gambir ke redaksi 15.14 WIB.
Tim redaksi merahputih.com telah mencari informasi ke beberapa titik mulai Polsek Gambir, Polres Jakarta Pusat dan Polda Metro Jaya.
Namun masih belum membuahkan hasil informasi keberadaan Ponco Sulaksono.
Dilansir GridHot dari laman Tribunnews.com, jurnalis Merahputih.com Ponco Sulaksono kini sudah kembali ke tengah-tengah keluarga tercinta.
Sebelumnya Ponco dikabarkan hilang kontak saat meliput aksi demo tolak UU Cipta Kerja yang berujung ricuh di kawasan Jakarta Pusat.
Setelah sempat dinyatakan hilang kontak selama beberapa jam, akhirnya diketahui Ponco ditahan dalam kondisi wajah babak belur di Mapolda Metro Jaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Jumat (9/10/2020).
Kisah penganiayaan oleh oknum Kepolisian tersebut diungkapkan Ponco bermula ketika aksi demonstrasi Penolakan Undang-undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law terjadi di kawasan Gambir, Jakarta Pusat pada Kamis (8/10/2020).
Ponco ditugaskan meliput peristiwa yang diikuti ribuan mahasiswa itu oleh pimpinan redaksi.
Aksi unjuk rasa yang semula berjalan kondusif berubah jadi petaka.
Ribuan mahasiswa bentrok dengan aparat kepolisian berseragam anti huru hara lengkap dengan tameng di tangan mereka.
Ketika bentrokan pecah di kawasan Gambir, Ponco berada di Halte Gambir yang merupakan titik tengah bentrokan.
Keputusannya untuk berlindung di bawah atap dari lemparan batu, botol kaca, hingga kayu itu membuatnya terjebak.
Terlebih ketika kepolisian menembakkan gas air mata ke arah kerumunan mahasiswa.
Ponco akhirnya terjebak di tengah massa yang lari berhamburan.
"Saya berlari dan terjatuh, sehingga mengalami luka memar di wajah. Saat saya terjatuh di pertigaan Pejambon, saya ditolong dan dilindungi anggota Brimob," kata Ponco.
Namun saat sedang diamankan oleh anggota Brimob berseragam, datang petugas berpakaian preman.
"Petugas (berpakaian preman) itu menyerang dan lalu mengamankan saya, walau saya bilang saya wartawan dan menunjukan ID. Untung ada petugas Brimob yang terus melindungi saya," ujar Ponco.
Ponco lalu dibawa ke pos polisi di Lapangan Monas sekira pukul 18.00 WIB.
Di sana, Ponco harus membuka baju dan jaket yang dia kenakannya.
Kemudian ponselnya diamankan anggota kepolisian.
Akibat alat komunikasi yang diamankan polisi, Ponco tidak bisa berkomunikasi dengan tim redaksi.
Dalam catatan Merahputih.com, terakhir Ponco Sulaksono mengirim berita ke redaksi pukul 15.14 WIB.
Baca Juga: Dianggap Sebar Hoaks UU Cipta Kerja, Pemilik Akun Twitter @videlyaeyang Diciduk Polisi, Ini Motifnya
Posisi Ponco hilang kontak hingga akhirnya diketahui berada di Polda Metro Jaya pada Jumat (9/10/2020) dini hari.
Proses pendataan di Polda Metro Jaya selesai pukul 20.15 WIB dan Ponco akhirnya bisa kembali berkumpul dengan keluarga.
Terkait hal tersebut, Pimpinan Redaksi Merahputih.com, Thomas Kukuh mengucapkan terima kasih pada berbagai pihak, khususnya LBH Pers, LBH Jakarta, Jejaring Jurnalis, Forum Wartawan Polri (FWP), Jurnalis Jakarta Pusat (JJP), Jurnalis KPK, para aktivis dan berbagai pihak yang ikut mencari Ponco Sulaksono.
"Kondisi Ponco saat ini sehat dan sudah berada bersama keluarga. Terima kasih atas perhatian semua pihak," ujar Thomas pada Sabtu (10/10/2020).
Atas aksi penganiayaan tersebut, pihaknya menyesalkan aksi kekerasan dan intimidasi pada jurnalis saat melakukan tugas jurnalistiknya.
Padahal, tugas jurnalis dilindungi Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dalam Pasal 4 UU Pers mengatur bahwa pers nasional berhak mencari, memperoleh, mengolah, dan menyebarluaskan informasi.
Sementara pasal 18 mengatur bahwa setiap orang yang menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik akan diancam pidana maksimal dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta.
"Kami berharap, aparat kepolisian memahami tugas jurnalis terutama saat ada bentrokan terjadi. Penahanan dan intimidasi pada jurnalis tidak dibenarkan," ungkap Thomas Kukuh. (*)