Dibanding di tanah kelahirannya, ia merasa hidupnya jauh lebih baik di tanah pengungsian.
"Ya kalau pribadi saya, saya lebih suka di NTT. Sekarang memang lebih baik dari di Timor Leste."
"Malahan saudara saya yang di Timor Leste ambil berasnya dari Kupang terus dibawa ke sana. Di sana mereka punya beras kurang bagus makanya ambil di sini."
"Saya punya adik beberapa kali ke sini, tiap pulang selalu bawa kembali kurang lebih 100-200 kg beras ke Timor Leste," ceritanya.
Muhajir enggan kembali ke kampung halaman. Ia enggan mengenang mimpi buruk semasa pra-referendum.
Menurutnya, di sana ia tidak bisa bergerak bebas, termasuk untuk sekedar bekerja atau bertani.
"Kalau di sini kita petani mau bekerja di pertanian bisa, karena aman untuk kita bekerja."
"Kalau dulu, kita mau bertani jauh dari kampung itu kan kita takut, trauma, diteror, diancam sama kelompok-kelompok yang ingin merdeka," ungkapnya.
Baca Juga: Australia Mulai Enggan Bantu Timor Leste dan Papua Nugini yang Tercekik Utang, Ini Alasannya
Namun, ia dan para pengungsi tetap berharap status kepemilikan tanah mereka jelas, sehingga mereka dapat tinggal dengan tenang.
Ia berharap Pemerintah Indonesia lebih memperhatikan nasib pengungsi Timor Leste.