Dengan skema pos tarif, lanjut Mulyadi, Indonesia lebih diuntungkan dan China tidak bisa memainkan harga terhadap importir,
Sehingga harga bawang putih dalam negeri lebih kompetitif dan murah, seperti pada saat diberlakukan aturan relaksasi, harga bawang putih hanya Rp. 8000 rupiah rupiah per kilogram.
Menurut kami, kata Mulyadi, sesuai peraturan skema pos arif tidak akan melanggar peraturan dari World Trade Organization (WTO), karena pos tarif dibebankan terhadap importir dalam negeri bukan eksportir, sebaliknya bila kejibakan proteksi melalui kouta impor terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, berpotensi digugat oleh negara lain karena Indonesia telah menyepakati Perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
"Salah satunya, meningkatkan ekspor dan impor di sektor perdagangan hingga investasi antar negara," katanya.
PPBN menilai, sambung Mulyadi, kebijakan proteksi melalui kuota impor tidak berjalan sesuai ketentuan yang dibuat sendiri oleh Kementerian Pertania.
Menurut Permentan Nomor 39 Tahun 2019 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura Pasal 19 Direktur Jenderal sudah menerbitkan RIPH dalam jangka waktu 5 lima hari kerja.
Sedangkan Surat Persetujuan Impor (SPI) di Kementerian Perdagangan menurut Permendag Nomor 44 tahun 2019 Tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura Pasal 11 dan 12 paling lama dua (2) hari kerja.
"Implementasinya dilapangan sampai dua (2) bulan bahkan ada yang tidak keluar RIPH atau SPI nya," tegasnya.
Menurutnya, percuma ada kebijakan proteksi melalui kuota impor karena implementasinya jumlah kouta impor bawang putih tahun 2020 hampir mencapai 700 ribu ton.
Padahal kebutuhan bawang putih dalam negeri hanya berkisar 500 ribu ton per tahun.