Gridhot.ID - 11 Tahun Pelarian Djoko Tjandra akhirnya berakhir juga di tahun 2020.
Dikutip dari Kompas.com, Djoko Tjandra telah merugikan negara lewat kasus mega korupsinya sebesar Rp 904 Miliar.
Kini dirinya sedang disidangkan atas kasus surat jalan palsu yang juga menjeratnya.
Djoko Tjandra, terdakwa kasus surat jalan palsu, membacakan pleidoi atau nota pembelaan atas tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
Pleidoi dibacakan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jumat (11/12/2020).
Dalam pleidoinya, Djoko Tjandra menyebut dirinya hanya korban ketidakadilan.
Ia menyebut dirinya menggunakan pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga.
"Sejujurnya, saya harus mengakui bahwa dengan perkara ini saya merasa seperti orang yang sudah jatuh dan ditimpa tangga pula."
"Ini menjadi titik nadir penderitaan saya sebagai warga negara Indonesia," ujar Djoko Tjandra di persidangan.
Ia meminta majelis hakim yang menangani perkara untuk membebaskannya dari segala tuntutan.
Sebab, selain faktor umur yang sudah lanjut usia, ia juga menyebut punya tanggungan keluarga.
"Saat ini saya masih mempunyai tanggungan atas kelangsungan hidup keluarga saya," ucapnya.
Kata dia, perkara hukum yang menjeratnya kini jadi penghambat dan membebani keluarganya secara psikologis
"Ketidakadilan dalam permasalahan hukum ini sangat membebani saya dan keluarga secara psikologis," tuturnya.
Miscarriage of justice dan korban ketidakadilan yang ia maksud, merujuk pada peninjauan kembali (PK) yang diajukan penuntut umum Kejari Jakarta Selatan.
Yang, kemudian dikabulkan Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 12/PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009.
Padahal, kata dia, PK yang diajukan jaksa Kejari Jakarta Selatan melanggar hukum, sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.04/BUA.6/HS/III/2014 tanggal 28 Maret 2014.
Dalam Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut dinyatakan pada butir 3, jaksa tidak diperbolehkan mengajukan PK.
Sebab, yang berhak diatur dalam KUHAP Pasal 263 ayat (1).
Lalu Djoko Tjandra menjelaskan sengaja kembali ke Indonesia setelah menetap lama di luar negeri.
Karena, ingin mengajukan PK terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor : 12/PK/Pid.Sus/2009 tersebut.
PK disebut sebagai jalan hukum satu-satunya.
"Dan untuk itu saya harus mengajukan permohonan Peninjauan Kembali."
"Apakah itu merupakan niat yang jahat?" Ucapnya.
Namun ia mengaku tidak paham apa saja yang diperlukan untuk pengajuan PK.
Oleh karena itu, dirinya merekrut Anita Dewi Kolopaking sebagai advokatnya, dan temannya, Tommy Sumardi.
Djoko Tjandra tidak tahu bagaimana Anita dan dengan siapa saja ia mengurus segala keperluan pengajuan PK itu.
Ia mengaku tak kenal dengan Brigjen Prasetijo Utomo, dan Irjen Napoleon Bonaparte.
Selaras dengan itu, ia menyebut fakta dalam persidangan juga menunjukkan dirinya tak tahu menahu, bahkan tak pernah bertemu dengan kedua saksi.
"Fakta-fakta dalam persidangan perkara ini menunjukkan dan membuktikan.
"Sebelum saya pulang ke Indonesia, saya tidak pernah bertemu dan tidak mengenal saksi-saksi," beber Djoko Tjandra.
Tuntutan Jaksa
Dalam surat tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU), Djoko Tjandra dituntut dua tahun penjara.
JPU menyatakan Djoko Tjandra bersalah karena menyuruh melakukan tindak pidana memalsukan surat secara berlanjut.
Djoko Tjandra dituntut pidana penjara sebagaimana tertuang dalam pasal 263 ayat (1) KUHP juncto Pasal 56 ayat (1) ke (1) juncto 64 ayat (1) KUHP.
"Menyatakan terdakwa Djoko Tjandra alias Joko Soegiarto Tjandra alias Joe Chan telah terbukti melakukan tindak pidana menyuruh pemalsuan surat berlanjut," kata Yeni Trimulyani, JPU dalam perkara tersebut.
Dengan demikian, JPU meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan hukuman dua tahun penjara terhadap Djoko Tjandra.
"Menjatuhkan hukuman dengan pidana penjara selama dua tahun penjara," sambung Yeni.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Djoko Tjandra: Ini Titik Nadir Penderitaan Saya Sebagai Warga Negara Indonesia.
(*)