Meski kedatangan tamu asing, pasangan suami-istri yang baru datang dari sawah itu tampak tidak kaget.
Tak heran, karena sejak bertahun-tahun silam, tepatnya beberapa saat setelah peristiwa bom Bali 1, 12 Oktober 2002, mereka telah mendengar kabar tak sedap bahwa Arif diduga terlibat aksi terorisme.
Suami istri berpenampilan sederhana sebagaimana layaknya warga desa lainnya tersebut sudah menduga bahwa tamu mereka pasti akan menanyakan tentang Arif.
Apalagi, Hadi dan Aminah dapat merasakan bahwa selama ini sering ada petugas kepolisian yang menyamar, yang mengintai kediaman mereka.
"Dulu mereka pura-pura berjualan di pojok gang di sana, bawa-bawa bronjong (wadah dari bambu, Red). Suka tanya ini dan itu.
Mereka pikir kami tidak tahu," kata Ny Aminah dalam Bahasa Jawa halus alias krama inggil. Aminah mengaku tidak takut dan khawatir meski sering diintai polisi. Karena dia yakin Arif, anak sulungnya, tidak berbuat salah sebagaimana tuduhan polisi. Aminah juga yakin bahwa dirinya, suaminya maupun seluruh anggota keluarganya tidak pernah terlibat peristiwa kriminal.
"Tidak mungkin anak saya begitu (menjadi teroris, Red). Kalau dia berbuat begitu pastilah sudah kaya, bisa kirim banyak uang ke orangtuanya atau ke istrinya. Nyatanya kami masih miskin seperti ini," katanya dengan nada emosional.
Berbeda dengan sang istri, Hadi Saleh tampak lebih tenang. Pensiunan guru Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN, setingkat SD, Red) di wilayah Kecamatan Mojogedang, Kabupaten Karanganyar, Jateng, ini lebih banyak diam.
"Saya pensiun sejak tiga tahun lalu," kata Hadi, yang mengenakan baju batik dan kain sarung.
Ny Aminah berkali-kali menegaskan keyakinannya bahwa Arif tidak mungkin berbuat jahat dengan menjadi teroris yang tega membunuh orang dengan aksi-aksi pengeboman.
"Tidak mungkin. Mana ada ayat (dalam Alquran) yang membolehkan orang membunuh? Tidak ada," tegas ibu enam anak ini, yang siang kemarin mengenakan kerudung warna putih.