Gridhot.ID- Orgnisasi Papua Merdeka (OPM) hingga sekarang masih meresahkan kedaulatan Indonesia.
Pasalnya beberapa kali anggota OPM nekat melancarkan aksi kekerasan bahkan pembunuhan terhadap masyarakat sipil Indonesia.
Bahkan, baru-baru ini muncul sebutan bahwa OPM merupakan termasuk salah satu organisasi Teroris.
Saat pemerintah masih mencari jalan terbaik menghadapi ketegangan itu, sebuah aliansi baru terbentuk.
Dilansir Intisari-Online dari dari Asia Pacific Report, sebuah kombinasi yang tidak terduga terbentuk yaitu bendera bintang putih Papua Barat dan bendera Myanmar bersandingan.
"Papua Barat berdiri bersama Myanmar," tulis sebuah plakat yang diunggah oleh pengacara HAM Indonesia Veronica Koman.
Dalam gambar lain, sekelompok kecil warga Papua Barat berdiri di Teluk Simora di kota pelabuhan Kaimana memegang plakat bertuliskan: "Kami berdiri bersama Myanmar."
Akun Twitter aktivis populer @AllianceMilkTea merespon: "Dan solidaritas denganmu Papua Barat!"
Milk Tea Alliance, pergerakan solidaritas demokrasi online yang dibuat oleh warganet dari Hong Kong, Taiwan, Thailand dan Myanmar, kini ditambah dengan para aktivis Papua Barat.
Media dari Selandia Baru itu melaporkan jika Papua Barat mengalami perpecahan dan dikuasai oleh tiran, yaitu Indonesia.
Sementara brutalitas pasukan Min Aung Hlaing dikenal membabi buta secara publik, pembunuhan para demonstran Papua Barat dan pergerakan kemerdekaannya telah dihapus dari sejarah.
Desember 2020, Benny Wenda, tahanan pengasingan politik di Inggris menyebut dirinya kepala pergerakan Papua Barat di bawah OPM.
Bulan yang sama, Kantor HAM PBB menyerukan semua pihak, kelompok separatis Papua Barat dan pasukan keamanan Indonesia, untuk menghentikan ketegangan di wilayah yang telah mencatat kematian para aktivis, pekerja gereja dan pejabat Indonesia.
Sejarah klaim kemerdekaan Papua Barat
Sejarah menjadi alat penipu dalam perang melawan negara dan pengkudeta.
Klaim Indonesia untuk mengendalikan Papua Barat mundur ke era "restorasi" Republik Indonesia pada 1969, sebuah gerakan yang dinamakan "Aksi Pilihan Bebas" (AFC).
Pusat dari kontroversi AFC adalah sistem konsultasi, yang disepakati oleh Menteri Luar Negeri Indonesia dan Belanda, yang memutuskan voting "restorasi" Papua Barat akan dilakukan oleh kelompok perwakilan terpilih daripada seluruh populasi Papua Barat.
AFC diawasi oleh perwakilan Sekretaris Jenderal PBB, memberikan Indonesia stempel legitimasi internasional.
Meski begitu, studi oleh University of Sydney tunjukkan jika sejak 1963 pemerintah militer Presiden Soeharto telah bekerja menghapuskan identitas Papua yang unik.
Adanya budaya Papua disebut dengan subversi, para nasionalis Papua Barat dihukum dan perwakilan dipilih dengan hati-hati untuk musyawarah.
Naskah itu mirip dengan referendum konstitusi kontroversial Thailand.
Sebagaimana koresponden AFP mencatat tahun 1969, "pasukan dan pejabat Indonesia menyebarkan kampanye intimidasi untuk memaksa Aksi Pilihan Bebas dalam nama Republik."
Presiden Soeharto mendeklarasikan pemungutan suara melawan AFC adalah aksi pengkhianatan.
Akhirnya, 1026 yang menyumbangkan suaranya dipilih dari populasi 815.906 yang memilih secara anonim untuk integrasi.
Hasil pemungutan suara itu menyebutkan Papua Barat disebut sebagai Zona Operasi Militer.
Sejarawan Papua Barat seperti John Rumbiak menggarisbawahi tekanan polisi dan militer yang kemudian mengikuti, terutama melawan aktivis yang memprotes penarikan lahan tradisional dan hutan oleh firma tambang dan perkebunan.
Ribuan pasukan dikirimkan merespon pergerakan pengunjuk rasa yang terus tumbuh di tahun 1990-an dengan rencana "operasi hitam" melawan pemimpin independen.
Sejak saat itu, Papua Barat telah berada di siklus kekerasan.
Pasukan bersenjata Indonesia menuduh gerilya dari kekerasan separatis.
Di bawah hukum Indonesia, mengibarkan bendera Papua Barat menyebabkan hukuman 15 tahun di penjara.(*)