Fitur pusat Soeharto adalah pasukan bersenjatanya diberikan dwi fungsi menjadi pasukan "sosial-politik" dan tidak hanya pertahanan saja, doktrin itu artinya militer aktif di politik dan bidang usaha lain.
Kemudian untuk menunjukkan jika tentara netral, mereka tidak diperbolehkan memilih di pemilihan parlemen.
Alih-alih, pasukan bersenjata diberi 100 atau 20% dari kursi parlemen.
Myanmar baru meniru ini pada konstitusi 2008, dengan jatah kursi sebanyak 25%, ironisnya hal ini terjadi 5 tahun setelah Indonesia mengalami reformasi politik besar setelah Soeharto, dan Indonesia mengacaukan kebijakan ini.
Di Indonesia yang dikacaukan juga adalah dwi fungsi, dikacaukan sendiri oleh militer Indonesia.
Ironisnya, di era periode kedua Jokowi yang tidak punya latar belakang militer, pengaruh militer justru meningkat dan pensiunan jenderal mendapatkan posisi kunci di kabinet.
Soeharto juga terkenal dengan kemenangan parlemen oleh Partai Golkar, setelah menjadi Presiden, Soeharto membangun ulang sistem politik melarang Partai Komunis dan partai-partai serupa dan hanya memperbolehkan dua partai selain Golkar untuk ikut 'pesta demokrasi'.
Source | : | Kompas.com,Intisari Online |
Penulis | : | Candra Mega Sari |
Editor | : | Candra Mega Sari |
Komentar