Kemudian di awal tahun 1990-an, Myanmar mengirim petugas dan pejabat ke Indonesia untuk mempelajari sistem Soeharto.
Hal ini terjadi ketika protes anti pemerintah terjadi pada 1988 dan kemudian tahun 1990 kemenangan pemilu untuk Suu Kyi yang ditolak diakui oleh rezim.
Fitur pusat Soeharto adalah pasukan bersenjatanya diberikan dwi fungsi menjadi pasukan "sosial-politik" dan tidak hanya pertahanan saja, doktrin itu artinya militer aktif di politik dan bidang usaha lain.
Kemudian untuk menunjukkan jika tentara netral, mereka tidak diperbolehkan memilih di pemilihan parlemen.
Alih-alih, pasukan bersenjata diberi 100 atau 20% dari kursi parlemen.
Myanmar baru meniru ini pada konstitusi 2008, dengan jatah kursi sebanyak 25%, ironisnya hal ini terjadi 5 tahun setelah Indonesia mengalami reformasi politik besar setelah Soeharto, dan Indonesia mengacaukan kebijakan ini.
Di Indonesia yang dikacaukan juga adalah dwi fungsi, dikacaukan sendiri oleh militer Indonesia.
Ironisnya, di era periode kedua Jokowi yang tidak punya latar belakang militer, pengaruh militer justru meningkat dan pensiunan jenderal mendapatkan posisi kunci di kabinet.
Soeharto juga terkenal dengan kemenangan parlemen oleh Partai Golkar, setelah menjadi Presiden, Soeharto membangun ulang sistem politik melarang Partai Komunis dan partai-partai serupa dan hanya memperbolehkan dua partai selain Golkar untuk ikut 'pesta demokrasi'.
Ketiga partai juga bersumpah mengikuti ideologi yang sama yaitu pancasila.
Golkar telah menjadi kendaraan politik yang kuat yang dipastikan akan dipilih oleh masyarakat dan para pemilik organisasi yang terlibat dengan pemerintah.