Gridhot.ID -Kudeta pemerintahan oleh pihak militer terjadi di Myanmar pada 1 Februari 2021 lalu.
Mengutip Kompas.com,situasi politik di Myanmar memanas setelah pemimpin de facto negara itu, Aung San Suu Kyi ditahan oleh pihak militer pada 1 Februari.
Suu Kyi dan sejumlah tokoh senior dari partai National League for Democracy (NLD) ditangkap dalam sebuah penggerebekan.
Penahanan Suu Kyi dan politikus dari partai NLD terjadi setelah ketegangan yang meningkat selama beberapa hari terakhir antara pemerintahan sipil dengan militer.
Militer Myanmar yang dikenal sebagai Tatmadaw, menuduh NLD telah mencurangi hasil Pemilu November 2020, sehingga bisa menang telak.
Mengutip Intisari online,Maret lalu, enam pekan setelah militer melancarkan kudeta di Myanmar, Panglima TNI Hadi Tjahjanto menawarkan kerja sama tentang "bagaimana membangun angkatan bersenjata profesional dalam konteks demokrasi."
Nanun, tawaran baik Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto diabaikan saat itu.
Militer Myanmar yang puluhan tahun lalu mengirim para pejabatnya untuk belajar dari Indonesia, kini tak ingin menerima pelajaran tentang bagaimana menjalani proses transisi dari negara otoritarian menjadi demokrasi.
Faktanya militer Indonesia setelah runtuhnya Soeharto di tahun 1998 melakukan apa yang perlu dilakukan militer Myanmar saat ini: melepaskan peran terbuka dalam politik.
Setelah kudeta 1 Februari yang menghancurkan demokrasi Myanmar, junta militer telah berpaling dari Indonesia dan pilih meniru Thailand.
Pemimpin senior militer Jenderal Min Aung Hlaing meminta bantuan untuk "mendukung demokrasi" darieksJenderal yang menjadi Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-Ocha yang pada 2014 juga menggulingkan pemerintahan demokratis lewat kudeta.
Secara bersejarah, ada beberapa tanda kemiripan antara militer Myanmar dan Indonesia.
Keduanya berperang untuk kemerdekannya, mengasingkan penjajah kolonial dan dalam prosesnya mendapatkan pengakuan seluruh negara.
Keberhasilan ini mendasari kedua militer memainkan peran besar dalam politik masing-masing negara.
Kedua militer juga memiliki kepentingan bisnis tertentu, yang seolah-olah untuk membantu menutupi kekurangan dari anggaran negara yang ketat.
Dalam hal ini, militer Myanmar memiliki aktivitas bisnis lebih besar.
Militer kedua negara juga menghadapi tuduhan pelanggaran HAM hebat.
Serta, kedua negara telah dipimpin oleh militer meskipun dalam waktu yang singkat.
Indonesia dipimpin militer pada 1945 dan Myanmar pada 1948.
Dalam banyak cara tentu Indonesia berbeda dengan Myanmar, mengingat langkah ekonomi berbeda yang dikejar Soeharto dan Ne Win di Burma, nama Myanmar sampai tahun 1989.
Soeharto membawa dan menyimpan sekelompok teknokrat kompeten bernama "Mafia Berkeley", yaitu para sarjana dari Universitas California.
Mereka membuka Indonesia untuk membutuhkan investasi swasta asing dan pribadi, dan membuat Soeharto untuk menderegulasi bagian penting dari ekonomi yang kusut.
Bertahun-tahun, pertumbuhan rata-rata di atas 6%.
Sementara, Ne Win mengisolasi negaranya dari dunia dan mendeklarasikan "cara sosialis Burma," sebuah hal yang menyebabkan negaranya yang kaya menjadi miskin.
Sejak Suu Kyi dilepaskan dari penahanan rumahnya tahun 2010, militer memperbolehkan beberapa pembukaan ekonomi untuk menarik investor asing.
Pembukaan itu mulai menaikkan standar hidup warga.
Namun, ekonomi Myanmar segera hancur setelah Covid-19 menyerang di tahun 2020.
Soeharto yang dengan kejam menekan musuh-musuhnya, membangun sistem pemerintahan yang melibatkan pemilihan parlemen tiap 5 tahun.
Sistem itu menciptakan stabilitas yang disukai para investor, dan menjadikannya dan militer Indonesia jawara.
Kemudian di awal tahun 1990-an, Myanmar mengirim petugas dan pejabat ke Indonesia untuk mempelajari sistem Soeharto.
Hal ini terjadi ketika protes anti pemerintah terjadi pada 1988 dan kemudian tahun 1990 kemenangan pemilu untuk Suu Kyi yang ditolak diakui oleh rezim.
Fitur pusat Soeharto adalah pasukan bersenjatanya diberikan dwi fungsi menjadi pasukan "sosial-politik" dan tidak hanya pertahanan saja, doktrin itu artinya militer aktif di politik dan bidang usaha lain.
Kemudian untuk menunjukkan jika tentara netral, mereka tidak diperbolehkan memilih di pemilihan parlemen.
Alih-alih, pasukan bersenjata diberi 100 atau 20% dari kursi parlemen.
Myanmar baru meniru ini pada konstitusi 2008, dengan jatah kursi sebanyak 25%, ironisnya hal ini terjadi 5 tahun setelah Indonesia mengalami reformasi politik besar setelah Soeharto, dan Indonesia mengacaukan kebijakan ini.
Di Indonesia yang dikacaukan juga adalah dwi fungsi, dikacaukan sendiri oleh militer Indonesia.
Ironisnya, di era periode kedua Jokowi yang tidak punya latar belakang militer, pengaruh militer justru meningkat dan pensiunan jenderal mendapatkan posisi kunci di kabinet.
Soeharto juga terkenal dengan kemenangan parlemen oleh Partai Golkar, setelah menjadi Presiden, Soeharto membangun ulang sistem politik melarang Partai Komunis dan partai-partai serupa dan hanya memperbolehkan dua partai selain Golkar untuk ikut 'pesta demokrasi'.
Ketiga partai juga bersumpah mengikuti ideologi yang sama yaitu pancasila.
Golkar telah menjadi kendaraan politik yang kuat yang dipastikan akan dipilih oleh masyarakat dan para pemilik organisasi yang terlibat dengan pemerintah.
Militer Myanmar punya kendaraan politik serupa yaitu Partai Gabungan Solidaritas dan Perkembangan (USDP), tapi kendaraan ini melibatkan para pensiunan militer akhirnya runtuh karena popularitas Suu Kyi dan partainya.
Widjojo, pensiunan jenderal bintang tiga, mengatakan Myanmar kekurangan 2 hal yang membuat Soeharto 'The Smiling General' berhasil.
Pertama adalah pancasila atau ideologi yang menyatukan warga Indonesia. Kedua adalah kontak stabil dengan dunia.
"Bukan hal mudah dalam transisi demokrasi datang dengan bentuk yang baik untuk membangun kepercayaan antara warga dan militer, dan di Myanmar tidak ada rasa percaya sama sekali." ujar Widjojo.
(*)