Ia menjelaskan, liabilitas Garuda Indonesia mayoritas berasal dari utang kepada lessor yang nilainya mencapai 6,35 miliar dollar AS.
Selebihnya ada utang ke bank sekitar 967 juta dollar AS, dan utang dalam bentuk obligasi wajib konversi, sukuk, dan KIK EBA sebesar 630 juta dollar AS.
"Jadi memang utang ke lessor paling besar, 6,35 miliar dollar AS. Ada komponen jangka panjang dan komponen tidak terbayar dalam jangka pendek. Tentunya dengan kondisi seperti ini, mengalami ekuitas negatif," kata Tiko.
Total liabilitas Garuda Indonesia yang sangat besar juga disebabkan kebijakan pencatatan dalam laporan keuangan.
Perseroan menerapkan PSAK 73 yang membuat dampak penurunan ekuitas semakin dalam, sebab pengakuan utang masa depan menjadi dicatat saat ini.
Kondisi keuangan itulah kata Tiko, membuat maskapai milik negara ini secara teknis sudah dianggap bangkrut.
Lantaran semua kewajiban perusahaan sudah tidak dibayar, bahkan untuk yang jangka panjang sekalipun.
"Semua kewajiban Garuda itu sudah tidak dibayar, gaji pun sebagian sudah di tahan. Jadi kita mesti memahami besama bahwa secana teknis kondisi Garuda ini sudah mengalami bangkrut, karena seluruh kewajiban jangan panjangnya pun tidak ada yang dibayarkan, termasuk global sukuk dan ke Himbara," paparnya.
Meski demikian, Tiko menekankan, Kementerian BUMN tengah berupaya untuk menyelesaikan masalah itu dengan melakukan restrukturisasi secara masif dan transformasi bisnis Garuda Indonesia.