Pria, wanita, dan anak-anak, ditembak, dibantai dengan pedang, diperkosa, dan disiksa. Lebih dari seratus wartawan juga dievakuasi.
Di antara mereka adalah koresponden Fairfax, Lindsay Murdoch.
"Selama empat dekade berkarier denganThe Age, saya bergabung dengan Marinir AS selama perang Irak 2003 dan meliput banyak pemberontakan, kudeta, dan konflik," katanya.
"Tapi saya tidak pernah merasa takut seperti di Timor Timur," katanya.
Murdoch mengatakan ancaman, serangan, dan tindakan intimidasi jelas ditujukan untuk memaksa personel PBB, pekerja bantuan, jurnalis, dan orang asing lainnya untuk pergi.
Mungkin yang terburuk dari pembantaian terjadi di luar rumah Pastor Rafael dos Santos, pastor paroki di Liquica.
Ribuan orang mengungsi dan menjadi sasaran milisi Besi Merah Putih Gutteres.
Didukung oleh tentara Indonesia, yang menembakkan gas air mata, milisi Gutteres turun dengan pedang saat mereka melarikan diri.
"Motif mereka: untuk membunuh, memperkosa dan mencuri, dan menutupmata orang asing. Rencananya berhasil: cepat atau lambat kita semua melarikan diri," kata Murdoch, mencatat pembunuhan dan kehancuran dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan tetapi keadilan tidak pernah diberikan.
Kembali melansir The Guardian, pada tanggal 20 September 1999, pasukan penjaga perdamaian internasional pimpinan Australia, Interfet, tiba untuk memulihkan ketertiban.