"Saya adalah muslim eklektik," kata amina.
Di atas meja terdapat beberapa kristal, kartu tarot, lambang pohon kehidupan dalam agama Buddha, lambang agama Yahudi dengan nama cucunya yang merupakan keturunan Yahudi, serta foto ibu dan saudara kandung perempuannya yang telah meninggal dunia.
"Saya senang menata meja ini sesuai dengan energi yang ingin saya rasakan di hari itu. Saya meletakkan meja setelah pintu masuk agar ada aliran energi sesuai feng shui," ungkap dia.
Keterbukaan amina akan keberagaman ritual dan agama tercermin sejak ia beranjak dewasa.
Ia lahir di sebuah keluarga pendeta Kristen Methodist di negara bagian Maryland, Amerika Serikat.
Meski demikian, sebelum masuk Islam, amina memeluk dan mempraktikan agama Budha.
"Bapak saya membesarkan saya dengan kasih sayang. Jadi saya tidak pernah memiliki pengalaman buruk yang membuat saya merasa perlu mencari alternatif (agama) lain. Tapi saya memang memiliki ketertarikan kuat terhadap keragaman agama," lanjut amina.
Agama keadilan di tengah ketidakadilan
Saat usianya menginjak 19, di tahun kedua perkuliahan, pada 1972, amina mengucap dua kalimat syahadat di sebuah masjid tidak jauh dari rumah kedua orang tuanya di Washington, DC.
Pergerakan hak warga sipil keturunan Afrika di Amerika kental mewarnai latar belakang kehidupan amina kala itu.
"Di dalam komunitas warga Amerika keturunan Afrika, terdapat pemahaman Islam sebagai alternatif dari model agama Kristen, yang ada saat itu yang instrumental dalam perbudakan warga keturunan Afrika," kata amina.