Gridhot.ID - Wabah covid-19 kini sudah mulai melemah.
Pasalnya sebagian besar warga dunia termasuk Indonesia kini sudah mendapatkan vaksin covid-19.
Bahkan dikutip Gridhot dari Kompas.com, 99,2 persen rakyat di Jawa-Bali dilaporkan sudah memiliki antibodi terhadap covid-19.
Laporan ini didapat dari survei serologi yang diumumkan Kementerian Kesehatan dan Tim Pandemi Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
“Proporsi penduduk di wilayah asal dan tujuan mudik di Jawa-Bali yang mempunyai antibodi Covid-19 sebesar 99,2 persen,” kata Tim FKM UI Muhammad N Farid dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (20/4/2022).
Meski Indonesia sudah mulai sedikit bernapas lega, China lagi-lagi malam membuat geger.
Dikutip Gridhot dari Kontan, tiga tahun setelah COVID-19 pertama kali muncul di perbatasannya, China kini sedang berjuang melawan wabah virus baru.
Melansir The Telegraph, puluhan orang telah terinfeksi oleh virus baru yang berasal dari hewan di China timur dan tengah.
Virus itu dinamakan Novel Langya henipavirus (LayV). Virus ini sudah terdeteksi pada 35 pasien di provinsi Shandong dan Henan. Banyak yang menderita demam, sakit kepala, muntah dan batuk.
Menurut para ilmuwan dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada pekan lalu, para peneliti percaya pasien tertular virus dari hewan, dan saat ini tidak ada bukti bahwa virus itu dapat menular di antara manusia.
"Belum ada kematian yang diketahui dari LayV. Kasus-kasusnya tidak serius dan tidak perlu panik," kata Prof Wang Linfa dari Program Penyakit Menular Muncul di Duke-NUS Medical School di Singapura, yang terlibat dalam penelitian ini.
Mengutip Fortune, para ilmuwan mengatakan bahwa 26 dari 35 pasien hanya terinfeksi LayV sementara sembilan sisanya dinyatakan positif patogen lain yang mungkin menyebabkan penyakit tersebut.
Para ilmuwan percaya bahwa virus itu kemungkinan muncul pada tikus, mamalia kecil, yang kemudian menularkannya ke manusia.
Mereka mengatakan tikus adalah "reservoir alami" untuk LayV. Materi genetik virus ditemukan di 27% tikus liar yang diuji oleh para ilmuwan di daerah tersebut, tingkat tertinggi di antara 25 hewan liar kecil yang disurvei oleh para ilmuwan.
Lebih penting lagi, para ilmuwan mengatakan sejauh ini tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa virus itu menyebar di antara manusia.
"Tidak ada kontak dekat atau riwayat paparan umum di antara pasien, yang menunjukkan bahwa infeksi pada populasi manusia mungkin sporadis," tulis mereka.
Tetapi para ilmuwan mengatakan ukuran sampel pasien terlalu kecil untuk sepenuhnya mengesampingkan penularan dari manusia ke manusia.
Para ilmuwan mengatakan bahwa LayV adalah bagian dari keluarga henipavirus, virus yang terdiri dari virus Hendra dan virus Nipah, yang dapat menyebabkan “penyakit fatal pada manusia.”
LayV tampaknya terkait erat dengan Mojiang henipavirus, virus yang ditemukan dan terkait dengan kematian tiga penambang di China selatan pada 2012, kata para ilmuwan.
Wabah ini telah membuat pemerintah Taiwan dan China waspada. Pada hari Minggu, Pusat Pengendalian Penyakit Taiwan memerintahkan laboratorium domestik untuk mulai mengurutkan genom virus dan meningkatkan pengawasan penyakit.
Beberapa ilmuwan memperingatkan bahwa LayV tidak mungkin menjadi COVID-19 berikutnya.
“Pada tahap ini, LayV tidak terlihat seperti pengulangan COVID-19 sama sekali,” tulis Francois Balloux, direktur Institut Genetika di University College London, di Twitter.
Dia mengatakan bahwa penyakit itu tampaknya tidak mudah menyebar di antara manusia.
"Tapi itu adalah pengingat lain dari ancaman yang ditimbulkan oleh banyak patogen yang beredar di populasi hewan liar dan domestik yang berpotensi menginfeksi manusia."
(*)
Source | : | Kompas.com,kontan |
Penulis | : | Angriawan Cahyo Pawenang |
Editor | : | Angriawan Cahyo Pawenang |
Komentar