Kariernya yang berjalan mulus tentu tidak lepas dari keinginan Pujiyarto untuk terus belajar, terutama dalam ilmu hukum sebagai penunjang kinerja.
Dia menimba ilmu hukum non kedinasan di beberapa universitas. Dia mendapatkan gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Jayabaya Jakarta pada 2018.
Judul desertasi yang dibuat Pujiyarto pun masih berkaitan dengan statusnya sebagai anggota Polri aktif, yaitu "Kepastian Hukum Dalam Penghentian Penyidikan Oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia Berdasarkan Pendekatan Keadilan Restoratif".
Pujiyarto membahas tentang penghentian proses penyelidikan dan penyidikan dalam hal pelapor, dan pelapor saling sepakat berdamai mencabut laporan polisi. Pembahasan ini menjadi pokok disertasinya. Penyidik berwenang untuk menghentikan proses hukum dan SP3, diselesaikan di luar peradilan.
"Kami sampaikan perlunya payung hukum yang lebih kuat, seperti undang-undang. Mengingat di negara maju, seperti Rusia dan Belanda sudah ada sumber undang undang terkait aturan yang jelas tentang penyelesaian perkara di luar peradilan, biasa disebut restorative justice," jelasnya.
Menurutnya, tidak semua perkara pidana harus diselesaikan di depan peradilan, seperti pencurian ringan, pencurian biasa dengan kerugian dibawah Rp 2,5 Jt penganiayaan, penipuan dan penggelapan.
Kasus-kasus tersebut merupakan delik umum, dengan ketentuan pencabutan dan perdamaian tidak bisa menggugurkan pidana.
"Kita harus menyamakan pemikiran tentang pencabutan perdamaian, bisa dihentikan. Tidak hanya berdasarkan STR dan SE saja dari Kapolri, tapi perlu perangkat hukum yang lebih tinggi seperti undang-undang yang digunakan negara seperti Rusia dan Belanda," tuturnya.
Meskipun begitu, Pujiyarto juga tetap ingin dalam undang-undang tersebut ada batasan kasus pidananya.
"Seperti pelaku bukan residivis, bukan kejahatan terhadap anak dan bukan juga pidana yang mengakibatkan meninggal dunia," ujar Pujiyarto.