Gridhot.ID - Skenario 'polisi tembak polisi' yang dikarang Irjen Ferdy Sambo untuk menutupi kasus pembunuhan Brigadir J, menyeret sejumlah nama.
Mengutip Tribunnews.com, 4 perwira menengah (Pamen) Polda Metro Jaya ditahan di tempat khusus (Patsus) di Provos Mabes Polri.
Mereka ditahan karena diduga melanggar etik dalam penanganan dugaan kasus pembunuhan terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
AKBP Pujiyarto yang menjabat sebagai Kasubdit Renakta Polda Metro Jaya menjadi salah satu dari 4 pamen yang ditahan di Provost Mabes Polri.
Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menyampaikan bahwa keempat pamen ditahan berdasarkan gelar perkara yang dilakukan oleh tim khusus (Timsus).
"Betul, hasil riksa dan gelar kemarin malam ditetapkan 4 pamen PMJ yaitu 3 AKBP dan 1 Kompol menjalankan Patsus di Biro Provost Mabes Polri," ujar Dedi saat dikonfirmasi, Sabtu (13/8/2022).
Sosok AKBP Pujiyarto
Kasubdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Pujiyarto pernah terlibat dalam pengungkapan kasus prostitusi online di2 hotel di Jakarta Barat.
Dikutip dari TribunJakarta.com(25/5/2021), pihak Polda Metro Jaya menangkap 75 orang terkait kasus ini.
Rincian dari 75 orang yang ditangkap itu juga ditemukan ada 18 orang anak dibawah umum yang diperjual belikan.
AKBP Pujiyarto mengatakan modus dari prostitusi online ini adalah pelaku menjebak korban dengan berpura akan menjadikannya pacar dan diajak untuk menuju ke sebuah hotel.
"Pelaku dengan anak korban berkenalan melalui media sosial yaitu Facebook, Instagram dan michat. Pelaku kemudian menjadikan pacar dan mengajak anak korban untuk menginap di hotel selama beberapa hari," jelasnya.
Melansir Fotokita.id, pada 2019 AKBP Pujiyarto menjabat sebagai Kabag Binopsnal Ditreskrimum Polda Metro Jaya.
Ketika itu, Pujiyarto menjadi salah satu pamen yang baru mendapatkan kenaikan pangkat. Posisi yang didudukinya sekarang tidak didapatnya dengan mudah.
Sekadar tahu saja, pria kelahiran Sragen, 17 September 1964 itu sebelumnya lulusan dari sekolah pendidikan guru (SPG).
Namun karena panggilan hati, ia pun lanjut masuk Secaba di SPN Lido tahun 1984 dan lulus 1985 (angkatan V).
Setelah menjadi polisi, Pujiyarto pernah menjadi sopir, Spri dan Karumga dari Kapolri yang ketika itu dijabat Jenderal Dibyo Widodo.
Lantas, Pujiyarto mengikuti pendidikan Secapa angkatan XXVI (WSC), dan masuk di bidang reskrim.
"Reserse adalan satuan kerja di Polri yang sangat lengkap dalam pelaksanaan tugasnya untuk melindungi dan melayani masyarakat di bidang penegakan hukum. Mulai penyelidikan, penyidikan, pemberkasan, dilanjutkan menyerahkan tersangka dan barang bukti ke Kejaksaan untuk proses peradilan," cerita Pujiyarto.
Pujiyarto juga memiliki segudang pengalaman di bidang reskrim.
Dia pernah menduduki jabatan Kanit Judsus Hortik (VC) Polres Jakbar, Kanit Reskrim Polsek Taman Sari, Kanit Krimum Polres Jakarta Barat, Wakasat Reskrim Jakbar, Wakasat Reskrim Jakarta Utara, Kabagbinopsnal Ditreskrimum PMJ.
Kariernya yang berjalan mulus tentu tidak lepas dari keinginan Pujiyarto untuk terus belajar, terutama dalam ilmu hukum sebagai penunjang kinerja.
Dia menimba ilmu hukum non kedinasan di beberapa universitas. Dia mendapatkan gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Jayabaya Jakarta pada 2018.
Judul desertasi yang dibuat Pujiyarto pun masih berkaitan dengan statusnya sebagai anggota Polri aktif, yaitu "Kepastian Hukum Dalam Penghentian Penyidikan Oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia Berdasarkan Pendekatan Keadilan Restoratif".
Pujiyarto membahas tentang penghentian proses penyelidikan dan penyidikan dalam hal pelapor, dan pelapor saling sepakat berdamai mencabut laporan polisi. Pembahasan ini menjadi pokok disertasinya. Penyidik berwenang untuk menghentikan proses hukum dan SP3, diselesaikan di luar peradilan.
"Kami sampaikan perlunya payung hukum yang lebih kuat, seperti undang-undang. Mengingat di negara maju, seperti Rusia dan Belanda sudah ada sumber undang undang terkait aturan yang jelas tentang penyelesaian perkara di luar peradilan, biasa disebut restorative justice," jelasnya.
Menurutnya, tidak semua perkara pidana harus diselesaikan di depan peradilan, seperti pencurian ringan, pencurian biasa dengan kerugian dibawah Rp 2,5 Jt penganiayaan, penipuan dan penggelapan.
Kasus-kasus tersebut merupakan delik umum, dengan ketentuan pencabutan dan perdamaian tidak bisa menggugurkan pidana.
"Kita harus menyamakan pemikiran tentang pencabutan perdamaian, bisa dihentikan. Tidak hanya berdasarkan STR dan SE saja dari Kapolri, tapi perlu perangkat hukum yang lebih tinggi seperti undang-undang yang digunakan negara seperti Rusia dan Belanda," tuturnya.
Meskipun begitu, Pujiyarto juga tetap ingin dalam undang-undang tersebut ada batasan kasus pidananya.
"Seperti pelaku bukan residivis, bukan kejahatan terhadap anak dan bukan juga pidana yang mengakibatkan meninggal dunia," ujar Pujiyarto.
Pujiyarto berharap desertasinya ini berguna untuk menyamakan sudut pandang hukum terhadap kasus pencabutan laporan dan perdamaian oleh penegak hukum, jaksa, hakim, penasehat hukum serta masyarakat.
Selain itu, bisa juga menjadi dasar seluruh penyidik Polri, dan tidak tebang pilih dalam perkara saling damai, mencabut laporan bisa sama tanpa syarat.
Capaian yang diperoleh Pujiyarto saat ini selain anugerah dari Allah, sudah pasti karena adanya dukungan dari keluarga.
"Kita pelindung dan pengayom masyarakat, selalu mendahulukan dinas dari pada keluarga. Seperti Hari Raya Idul Fitri dan tahun baru, pasti siaga. Keluarga selalu mendukung," terang pria yang tetap meluangkan waktu makan bersama dan nonton bersama keluarga ini.
Pujiyarto pun bersyukur dengan kepercayaan dari pimpinan Polri dan masyarakat hingga sekarang.
"Alhamdulillah dari SPG dan Secaba, bisa dapat kepercayaan sampai (pangkat) AKBP yang tentunya dengan persyaratan yang berat dan ketat."
"Saat ini untuk gelar akademik Doktor, saya hanya ingin bisa bermanfaat saat dinas dan purna nanti bisa bermanfaat bagi keluarga serta masyarakat," tutup pria yang pernah membantu anak yang menjadi yatim piatu setelah orang tuanya meningal karena Covid-19 di Sragen.
Begitulah sosok AKBP Pujiyarto pamen Polda Metro Jaya yang menjadi korban mulut manis Ferdy Sambo.
(*)