GridHot.ID - Polarisasi yang berkembang antara Amerika Serikat (AS) dan sekutunya di satu sisi dan Republik Rakyat China di sisi lain, telah memicu perubah besar-besaran dan strategi militer.
Dilansir dari Eurasian Times, menurut Letnan Jenderal Steven Rudder, yang memimpin Marinir AS di kawasan Indo-Pasifik, kemampuan serangan jarak jauh sangat penting bagi AS dan sekutunya seperti Jepang, untuk mencegah aktivitas militer musuh di Pasifik Barat.
Rudder menambahkan terserah Jepang soal bagaimana cara memperoleh senjata jarak jauh, AS akan mendukungnya.
Rudder mengatakan hal tersebut karena China diketahui mempercepat pembangunan angkatan lautnya dan mencoba memproyeksikan kekuatan di luar zona tradisionalnya di Laut China Timur dan Selatan.
China juga membuat terobosan cepat ke Pasifik, dekat dengan wilayah Australia dan AS.
Pada Mei 2022, Grup Pertempuran Kapal Induk Liaoning milik Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) transit melalui Selat Miyako dekat Jepang untuk melakukan latihan di wilayah pasifik barat.
"Musuh masa depan menggunakan sistem pertahanan udara dan anti-permukaan berbasis darat, jarak jauh, presisi – terintegrasi dengan udara, maritim, dunia maya, dan kemampuan serangan luar angkasa – untuk menolak akses pasukan ke zona konflik," ujar Rudder yang sejalan dengan Marine Corp Force Design 2030 edisi 2022.
AS telah mengakui dalam Laporan Penelitian Kongres, bahwa China memiliki Angkatan Laut terbesar di dunia berdasarkan ukuran armada.
China juga memiliki rudal anti-kapal seperti DF-21 dan rudal jarak jauh yang dapat menyerang aset AS di Pasifik.
Dalam ketegangan yang terus meningkat antara China dan Taiwan, ada pula kekhawatiran bahwa konflik bersenjata akan segera terjadi. Konflik itu akan menyeret Jepang karena kedekatan geografisnya dengan Taiwan.
AS, pada bagiannya, akan campur tangan seperti yang dijanjikan Joe Biden pada Tur Asia-nya pada bulan Mei.