“Karena arah anginnya ke barat itu, jadi Yogya aman dari abu. Kalau di daerah di barat, debu-debu itu kemudian menutupi radiasi matahari. Matahari yang mau menyinari bumi jadi terganggu. Hanya, kejadian itu lokal saja, hanya di daerah yang tertutup abu saja,” jelas dia.
Emilya menambahkan, kejadian erupsi Gunung Merapi di tahun 2023 ini berbeda dengan erupsi tahun 2010.
Saat itu, gunung tersebut masih mengeluarkan erupsi eksplosif dengan semburan yang membumbung tinggi.
“Saat itu, kami mengukur, radiasinya nol, selama tiga hari ke depan itu radiasi nol. Artinya, cuaca menjadi lebih dingin karena tidak ada radiasi yang masuk. Baru kemudian berangsur-angsur, matahari mulai masuk karena abu-abu sudah mulai hilang,” urainya.
Dilanjutkan Emilya, di DIY dan sekitarnya masih ada proses cuaca, seperti tekanan udara dan hujan.
Ditambah, di negara tropis seperti Indonesia ada lapisan troposfer yang cukup tebal, sehingga abu Merapi juga tidak terperangkap di stratosfer yang bisa berpengaruh dengan iklim.
Kondisi ini berbeda dengan erupsi Gunung Eyjafjallajokull di Islandia pada tahun 2010.
Saat erupsi di bulan Maret 2010, hasil erupsi tersebut mampu melumpuhkan penerbangan dan perubahan iklim di Eropa.
“Di negara seperti Islandia, troposfer itu tidak setebal di Indonesia, hanya sekitar 6 km. Jadi, itu erupsi sampai stratosfer dan tidak turun, menyebabkan perubahan iklim di sana,” tutur dia.
(*)
Source | : | Kompas.com,Tribun Jogja,Antaranews |
Penulis | : | Angriawan Cahyo Pawenang |
Editor | : | Angriawan Cahyo Pawenang |
Komentar