Gridhot.ID - Gunung Merapi dilaporkan baru saja erupsi beberapa waktu lalu.
Erupsi Gunung Merapi diduga menjadi penyebab cuaca di Yogyakarta atau Jogja menjadi panas bukan main.
Pasalnya dikutip Gridhot dari Kompas.com, Yogyakarta sempat mengalami kenaikan suhu hingga mencapai 33 derajat celcius.
Banyak yang mengaitkan panasnya Yogyakarta dengan erupsi Gunung Merapi.
Namun Prakirawan Cuaca Stasiun Meteorologi Yogyakarta M. Nur Hadi mengungkapkan hal tersebut tidak saling berkaitan.
Sementara itu dikutip Gridhot dari Tribun Jogja, Pakar Iklim dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Emilya Nurjani, S.Si., M.Si menjelaskan rentetan awan panas guguran yang keluar dari mulut Gunung Merapi tidak serta merta menjadi penyebab munculnya cuaca panas di DIY.
“Aerosol yang dihasilkan oleh erupsi awan panas guguran itu mungkin saja bisa berpengaruh menaikkan suhu, mengurangi suhu atau justru bisa tidak terjadi apa-apa. Itu harus diukur dulu untuk menentukannya,” kata Emilya saat menjadi pembicara di Sekolah Wartawan bertajuk ‘Bencana Hidrometeorologi dan Perubahan Iklim di UGM’, Senin (13/3/2023).
Dengan artian, erupsi Gunung Merapi tidak otomatis membuat kenaikan atau penurunan suhu cuaca.
Jika pun ada perubahan suhu, itu tidak terjadi di seluruh DIY, tapi di daerah dimana abu Merapi turun.
Dia menjelaskan, Gunung Merapi memiliki tinggi 2.968 mdpl dan itu berarti debu-debu yang dimuntahkan dari perut gunung bisa langsung terbawa ke daerah lain.
Pada Sabtu kemarin, arah angin menuju ke barat laut-utara atau menuju area Magelang dan sekitarnya.
“Karena arah anginnya ke barat itu, jadi Yogya aman dari abu. Kalau di daerah di barat, debu-debu itu kemudian menutupi radiasi matahari. Matahari yang mau menyinari bumi jadi terganggu. Hanya, kejadian itu lokal saja, hanya di daerah yang tertutup abu saja,” jelas dia.
Emilya menambahkan, kejadian erupsi Gunung Merapi di tahun 2023 ini berbeda dengan erupsi tahun 2010.
Saat itu, gunung tersebut masih mengeluarkan erupsi eksplosif dengan semburan yang membumbung tinggi.
“Saat itu, kami mengukur, radiasinya nol, selama tiga hari ke depan itu radiasi nol. Artinya, cuaca menjadi lebih dingin karena tidak ada radiasi yang masuk. Baru kemudian berangsur-angsur, matahari mulai masuk karena abu-abu sudah mulai hilang,” urainya.
Dilanjutkan Emilya, di DIY dan sekitarnya masih ada proses cuaca, seperti tekanan udara dan hujan.
Ditambah, di negara tropis seperti Indonesia ada lapisan troposfer yang cukup tebal, sehingga abu Merapi juga tidak terperangkap di stratosfer yang bisa berpengaruh dengan iklim.
Kondisi ini berbeda dengan erupsi Gunung Eyjafjallajokull di Islandia pada tahun 2010.
Saat erupsi di bulan Maret 2010, hasil erupsi tersebut mampu melumpuhkan penerbangan dan perubahan iklim di Eropa.
“Di negara seperti Islandia, troposfer itu tidak setebal di Indonesia, hanya sekitar 6 km. Jadi, itu erupsi sampai stratosfer dan tidak turun, menyebabkan perubahan iklim di sana,” tutur dia.
(*)
Source | : | Kompas.com,Tribun Jogja,Antaranews |
Penulis | : | Angriawan Cahyo Pawenang |
Editor | : | Angriawan Cahyo Pawenang |
Komentar