Gridhot.ID - Perhitungan pesangon karyawan yang sudah meninggal pada dasarnya sudah ada dalam aturan UU Cipta Kerja terbaru.
Dikutip Gridhot dari laman resmi Kemenkumham, omnibus Law adalah suatu metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.
Regulasi yang dibuat senantiasa dilakukan untuk membuat undang-undang yang baru dengan membatalkan atau mencabut juga mengamandemen beberapa peraturan perundang-undangan sekaligus.
Konsep Omnibus Law ini dalam undang-undang bertujuan untuk menyasar isu besar yang memungkinkan dilakukannya pencabutan atau perubahan beberapa undang-undang sekaligus (lintas sektor) untuk kemudian dilakukan penyederhanaan dalam pengaturannya, sehingga diharapkan tidak terjadi konkurensi/persengketaan dan atau perlawanan antara norma yang satu dengan yang lainnya.
Omnibus Law sendiri memang sempat diprotes para pekerja, namun kini berbagai perusahaan sudah mulai menggunakan hukum tersebut dalam kepengurusan kepegawaiannya.
Dalam omnibus law sudah tercatat aturan di mana perusahaan harus membayar pesangon karyawan baik itu yang diPHK atau dipecat hingga mereka yang meninggal dunia namun masih memiliki masa kerja.
Dikutip Gridhot dari Kompas.com, ketentuan terkait kewajiban perusahaan untuk karyawan yang meninggal dunia diatur dalam aturan turunan dari Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja atau Omnibus Law Cipta Kerja).
Aturan turunan tersebut yaitu PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Dengan begitu, rumus menghitung pesangon bagi karyawan yang meninggal dunia mengacu pada regulasi tersebut (perhitungan pesangon meninggal dunia Omnibus Law).
Dalam beleid tersebut, dijelaskan bahwa pekerja/buruh meninggal dunia dapat menjadi alasan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Besaran pesangon PHK karena pekerja meninggal