Saat itu kata Gobang, proses penyelidikan naik ke tahap penyidikan ditandai dengan terbitnya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) pada 24 Juli 2017 nomor SPDP/52/VII/2017/Reskrim.
"Kemudian klien saya ditetapkan tersangka pada 2017. Tapi setelah ditetapkan tersangka ini tidak jelas kasusnya, tidak ada proses lanjutan," katanya kepada TribunBanten.com, Minggu (16/7/2023).
Namun, lanjut Gobang, pada 2022 Satreskrim Polres Pandeglang kembali menerbitkan SPDP baru bernomor SPDP/47/V/2022/Satreskrim.
"Nah, ini kan janggal karena 2017 sudah ada SPDP, kenapa 2022 ada SPDP baru? Sementara klien saya masih berstatus tersangka," ujarnya.
Menurut Gobang, pada 2017, Engkos Kosasih sudah siap menjalani proses hukum. Namun, kasus tersebut seolah digantung tanpa diberikan kepastian oleh polisi.
"Dari 2017, klien kami tidak memiliki kepastian hukum sehingga sangat mengganggu kehidupan beliau. Lalu pada 2023 ditangkap. Bayangkan, selama 6 tahun tidak ada kejelasan hukum," kata Gobang.
Ia juga heran dengan proses penangkapan dan penahanan yang dilakukan polisi.
Menurut Gobang, apa yang dilakukan polisi terlalu berlebihan sampai mendatangi ke rumah dan merekam peristiwa penangkapan tersebut lalu membuat viral di media sosial.
"Klien saya ini terduga korupsi, bukan gembong teroris, tapi penangkapannya seperti itu. Ini juga janggal karena klien saya selama ini dipanggil, diperiksa selalu koperatif, kenapa enggak dipanggil saja terus ditahan," ucapnya.
Gobang menilai pandangan subjektif polisi yang menilai EK akan melarikan diri, mempengaruhi saksi, dan menghilangkan barang bukti tidak masuk akal.
Apalagi, kata dia, ada narasi yang berkembang bahwa ada penggeledahan di rumah EK saat penangkapan.