Gridhot.ID - Innalillahi wa innailaihi rojiun, sosok maestro patung Indonesia ini meninggal dunia mendadak.
Meski telah lama meninggal dunia, sosoknya masih terus dikenang berkat karyanya yang terus terpampang di berbagai sudut Indonesia.
Sosok yang telah meninggal dunia tersebut adalah Edhi Sunarso.
Dikutip Gridhot dari Antara, pematung Indonesia Edhi Soenarso meninggal dunia pada usia 84 tahun di Yogyakarta.
Kepergian pembuat Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia itu mendapat perhatian dari sejumlah netizen, utamanya para pesohor negeri.
Sutradara film Fajar Nugros dalam akun @fajarnugros mencuit "Berbelasungkawa sedalamnya atas wafatnya bapak Edhi Sunarso, karyanya akan terus menghiasi ibukota..."
Galeri Nasional Indonesia dalam akun @galerinasional pun turut mengungkapkan belasungkawanya atas kepergian Edhi: "Ikut berbela sungkawa atas wafatnya pematung Indonesia, EDHI SUNARSO, pd Senin (4/1/2016) malam. Selamat jalan Bpk. Edhi Sunarso... Semoga Bpk. Edhi Sunarso mendapat tempat terbaik di sisi-Nya #edhisunarsotutupusia. Indonesia kehilangan pematung monumental EDHI SUNARSO. Semoga mendapat tempat terbaik di sisi-Nya. Selamat jalan... #edhisunarsotutupusia."
Disebutkan Edhi Sunarso meninggal dunai akibat sesak napas.
Edhi Sunarso meninggal dunia pada pukul 22.53 WIB di ICU Jogja International Hospital pada usia 83 tahun.
Sementara sastrawan sekaligus pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad memiliki kesan tersendiri atas Edhi, dalam akun Twitter @gm_gm, dia menyebut Edhi sebagai "pematung terbesar dlm senirupa Indonesia".
Dalam cuitan bertagar #edhi, Goenawan menyebut "Patung2 Edhi Sunarso memberi corak yg ekspresif kepada monumen2 kita, terutama di Jakarta".
"Karyanya, "Pembebasan Irian Barat" di Lapangan Banteng dan "Monumen Dirgantara" di Pancoran, lebih ekspresif ketimbang monumen2 biasa."
Karya lain Edhi Sunarso yakni Monumen "Prajurit Tani" di depan Hotel Aryaduta, menurut Goenawan "dibuat dgn resep "realisme sosialis" oleh pematung Rusia, necis tapi hambar."
Selain itu, "Patung2 Edhi Sunarso menampilkan "musculatura" tubuh yg tak mementingkan kecantikan dan kerapian, tapi menyatakan gerak dan gairah."
Goenawan mengatakan, monumen di ruang publik umumnya terkait dgn sejarah politik dan kekuasaan. Demikian juga dengan patung Edhi Sunarso, oleh sebab itu corak patung Edhi berbeda-beda.
"Patung "Dirgantara", dikerjakan ketika Bung Karno hampir lengser, dibeayai Bung Karno dari hasil jual mobil, memukau krn terasa bebas. Sementara monumen "Pancasila Sakti" tampak rapi dan komunikatif, tapi terasa tak punya ekspresi. Ini monumen dengan pesan Orde Baru. Edhi Sunarso tak hanya satu gaya, satu corak. Ini karena monumen umumnya ditentukan sang pemesan, bukan sang seniman. Syukur Edhi Sunarso tak hanya pembuat monumen. Ia juga pematung. Sebagai pematung, ia lebih bisa mencipta, dgn dorongan hati sendiri."
Karya-karya Edhi Sunarso yang menghiasi Jakarta antara lain Patung Dirgantara (Pancoran), Selamat Datang (Hotel Indonesia), dan Pembebasan Irian Barat (Lapangan Banteng).
Dikutip Gridhot dari Kompas.com, Edhi Sunarso adalah maestro patung yang ciptaannya tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Sebagian besar karyanya bertema perjuangan dan berdiri megah menghiasi kota-kota besar, mulai dari Jakarta, Surabaya, hingga Surakarta.
Beberapa karya Edhi Sunarso di antaranya patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia (HI), patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, dan patung Dirgantara atau dikenal sebagai Patung Pancoran.
Selain itu, Edhi Sunarso merupakan salah seorang seniman patung kenamaan yang membuat patung Tugu Muda dan Pancasila Sakti.
Sebelum melahirkan karya berdimensi besar yang sangat ekspresif dan heroik, ia memang merupakan seorang pejuang kemerdekaan.
Edhi Sunarso, yang juga aktif di dunia pendidikan seni, mendapatkan penghargaan dari beberapa negara atas hasil karyanya.
Berikut biografi singkat Edhi Sunarso dan karyanya.
Pejuang kemerdekaan Indonesia
Edhi Sunarso lahir di Salatiga, Jawa Tengah, pada 2 Juli 1932. Lahir di masa penjajahan membuatnya terjun sebagai pejuang sejak usia muda.
Pada 1947, Edhi meninggalkan bangku sekolah dan bergabung dalam Pasukan Samber Nyawa dari Divisi I, Batalyon III Siliwangi, Resimen V, yang bermarkas di Subang, Jawa Barat.
Di usianya yang masih remaja, ia mendapat tugas sebagai pembawa pesan yang menghubungkan antarpejuang kemerdekaan.
Oleh karena itu, Edhi sempat menjadi tahanan Belanda di Kebonbaru, Bandung.
Sisi baiknya, untuk mengisi hari-harinya di penjara, ia mengikuti sejumlah pelatihan, mulai dari Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, ilmu hitung, hingga menggambar.
Karena hasil gambarannya bagus, Edhi kerap diminta untuk membesarkan potret dan diberi upah.
Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949, semua tawanan dibebaskan, tidak terkecuali Edhi, yang langsung pulang ke Salatiga menemui keluarganya.
Dari Salatiga, ia berangkat menemui kawan-kawan seperjuangannya, yang turut hijrah ke Yogyakarta bersama Divisi Siliwangi.
Namun, setibanya di Yogyakarta, koleganya ternyata telah kembali ke Bandung.
Dirangkul Hendra Gunawan
Setelah sempat terkatung-katung di Yogyakarta, Edhi Sunarso mulai berpartisipasi dalam kegiatan menggambar di Kotabaru yang kerap ia lihat.
Dari situlah, bakatnya ditemukan oleh Hendra Gunawan, maestro lukis Indonesia sekaligus pengajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), yang sekarang menjadi ISI.
Berkat dukungan Hendra Gunawan, Edhi, yang putus sekolah dapat menjadi mahasiswa luar di ASRI, yang artinya bisa mengikuti kelas praktik saja.
Edhi bahkan diajak untuk tinggal di rumah Hendra Gunawan, di mana studio Sanggar Pelukis Rakyat berada.
Saat itu, Pelukis Rakyat sedang gencar berkesperimen pembuatan patung untuk mencari ciri khas seni rupa bangsa Indonesia.
Dari sanggar inilah, Edhi semakin akrab dengan seni membuat patung dan dilirik Soekarno, presiden Indonesia saat itu.
Oleh Hendra Gunawan, ia dilibatkan dalam menggarap Tugu Muda atau Monumen Simpang Lima di Semarang.
Edhi juga mendapat undangan untuk mengikuti rangkaian seminar seni rupa di berbagai negara dan mendapat beasiswa dari UNESCO untuk melanjutkan pendidikan seni di India antara 1954-1957.
Aktif di bidang pendidikan seni
Ketika menempuh pendidikan di India, karya-karya Edhi Sunarso mulai dipamerkan di beberapa kota di sana.
Pada 1956, karyanya yang bertajuk "Nude" mendapat medali emas dari Pemerintah India.
Sekembalinya ke Indonesia, Edhi aktif di bidang pendidikan seni dengan mengajar di ASRI Yogyakarta.
Setelah menikahi pelukis bernama Koestijah, mereka membangun studio patung dan lukis di Kaliurang.
Edhi juga membentuk Keluarga Arca, kelompok yang bertujuan mengembangkan seni patung.
Pada 1960, sebagai pengajar di ASRI Yogyakarta, ia mulai membangun jurusan seni patung dan menjadi ketua jurusan ini hingga 1967.
Selain di ASRI Yogyakarta, Edhi juga menjadi pengajar di Akademi Kesenian Surakarta (1958-1959) dan di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan Negeri (IKIP) Yogyakarta (1967-1981).
Kemudian, antara 1985-1990, Edhi merupakan pengajar sekaligus Sekretaris Senat di ISI Yogyakarta.
Mengerjakan pesanan Presiden Soekarno
Pada 1959, bersama Keluarga Arca, Edhi Sunarso diberi tanggung jawab atas pengerjaan relief di Museum Perjuangan Yogyakarta.
Di tengah kesibukan itu, Edhi dipanggil oleh Presiden Soekarno ke Jakarta.
Ternyata, ia dipercaya membuat Monumen Selamat Datang untuk menyambut para atlet peserta ASEAN Games yang akan digelar pada 1962.
Pada 1961, Monumen Selamat Datang pun telah selesai dipasang di Bundaran Hotel Indonesia (HI).
Selain itu, ada dua monumen lagi yang dipesan langsung oleh Presiden Soekarno kepada Edhi.
Yakni Monumen Pembebasan Irian Barat (1963) dan Monumen Dirgantara atau Patung Pancoran (1970).
Sayangnya, Monumen Dirgantara tidak sempat diresmikan oleh Soekarno, yang lebih dulu meninggal.
Sepeninggal Soekarno, Edhi tetap dipercaya menggarap patung dan monumen perjuangan, salah satunya Monumen Nasional (Monas).
Edhi Sunarso meninggal pada 4 Januari 2016 di Yogyakarta akibat infeksi pernapasan akut.
(*)