Salma mengatakan bahwa dia terus-menerus berada dalam ketakutan, ketidaknyamanan dan depresi, yang berdampak buruk pada siklus menstruasinya.
“Saya mengalami hari-hari tersulit dalam hidup saya selama perang ini,” ujar Salma.
"Saya mendapat menstruasi dua kali di bulan ini – yang sangat tidak teratur bagi saya – dan mengalami pendarahan hebat." tambahnya.
Salma mengatakan tidak tersedia cukup pembalut di beberapa toko dan apotek yang masih buka.
Jangankan pembalut, mendaapat air bersih untuk minum dan mandi saja adalah sebuah kemewahan baginya.
Itu pun penggunaan kamar mandi harus dijatah dan dibatasi hanya beberapa hari sekali.
Tanpa sarana untuk mengatur menstruasinya seperti biasanya, Salma memutuskan untuk mencoba mencari pil agar tidak menstruasi.
Ketika pembalut lebih sulit ditemukan, tablet penunda menstruasi lebih banyak tersedia di sejumlah apotek karena jarang digunakan.
"Saya meminta putri saya pergi ke apotek dan membeli pil penunda menstruasi," kata Salma.
“Mungkin perang ini akan segera berakhir dan saya tidak perlu lagi menggunakannya,” tambahnya, yang juga khawatir dengan efek samping pil tersebut pada tubuhnya.
Tak sampai di situ saja, penderitaan wanita lain di Gaza adalah sejumlah ibu yang terpaksa melahirkan secara caesar tanpa anestesia atau bius.