Find Us On Social Media :

Lembaga Pers Tuntut Pertanggungjawaban Untuk Jurnalis yang Jadi Korban Aksi 22 Mei

Jurnalis sedang liputan merekam anggota Brimob membentuk barikade di seluruh sisi menuju Gedung Bawaslu.

Laporan reporter Gridhot.ID, NIcolaus Ade Prasetyo

Gridhot.ID - Kerusuhan 21 dan 22 Mei 2019 di Tanah Abang dan sekitarnya masih belum mereda.

Aksi demonstrasi tolak hasil Pemilu 2019 berujung pada aksi ricuh disertai anarkisme.

Walaupun beberapa provokator massa sudah berhasil diamankan pihak kepolisian, bentrokan masih tetap terjadi di beberapa titik.

Baca Juga: Misteri Penemuan Amplop dalam Saku Demonstran, Polisi Menduga Aksi 22 Mei Dipicu oleh Massa Bayaran

Hingga Rabu (22/5/2019) bentrokan antara petugas dan massa kembali terjadi di depan kantor Bawaslu.

Melansir dari Kompas.com, hingga saat ini telah diketahui telah jatuh korban sebanyak 200 an orang akibat aksi kerusuhan ini.

Selain warga, massa, dan anggota kepolisian, ternyata dikabarkan juga ada beberapa jurnalis yang sedang meliput menjadi korban dari aksi kerusuhan 22 Mei.

Baca Juga: Sempat Berada di Tengah Massa Demonstrasi, Inilah Kesaksian Mengejutkan Driver Ojol Sebelum Kerusuhan 22 Mei

Dilansir Gridhot.ID dari Bangkapos.com Kamis (23/5/2019), bangkapos.com menerima sebuah pressrelease yang berisikan aksi kekerasan terhadap jurnalis yang sedang bertugas meliput kerusuhan.

Berdasarkan verifikasi tim Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, setidaknya hingga saat ini terdapat tujuh jurnalis yang mengalami kekerasan, intimidasi dan persekusi sejak dini hari hingga pagi tadi.

Mereka di antaranya, Budi Tanjung (Jurnalis CNNIndonesia TV), Ryan (CNNIndonesia.com), Ryan (Jurnalis MNC Media), Fajar (Jurnalis Radio Sindo Trijaya), Fadli Mubarok (Jurnalis Alinea.id), dan dua jurnalis RTV yaitu Intan Bedisa dan Rahajeng Mutiara

Tak menutup kemungkinan, masih banyak jurnalis lainnya yang menjadi korban.

Baca Juga: Angkat Bicara Usai Peristiwa Kerusuhan Tanah Abang, Anies Baswedan: Jakarta Aman, Tenang dan Teduh

Sampai saat ini AJI Jakarta masih mengumpulkan data dan verifikasi para jurnalis yang menjadi korban.

Peristiwa itu terjadi saat sejumlah jurnalis meliput di sekitar Gedung Bawaslu.

Mereka dilarang aparat kepolisian saat merekam aksi penangkapan orang-orang yang diduga sebagai provokator massa.

Baca Juga: Warganet Kagum Lihat Aksi Penyapu Jalan yang Abaikan Massa Kerusuhan dan Tetap Jalankan Kewajiban Meski Situasi Mencekam

Budi Tanjung, jurnalis Transmedia, salah satunya.

Budi mengaku pada saat bertugas dipukul di bagian kepala dan rekaman videonya di ponsel dihapus oleh beberapa anggota Brimob di depan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jl Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, pada Rabu dini hari.

Peristiwa kekerasan lainnya juga dialami jurnalis CNNIndonesia.com, Ryan saat meliput di Jalan Jatibaru, Jakarta Pusat.

Saat itu, Ryan sedang merekam aksi polisi yang menangkap provokator massa.

Baca Juga: Usai Rusuh di Tanah Abang, Massa Bakar Area Sekitar Asrama Brimob Padahal di Sana Ada Anak Istri Polisi

Namun, polisi merebut ponselnya dan meminta menghapus videonya.

Ryan juga mengaku telah mendapatkan kekerasan dari pihak Brimob dengan dipukul dengan tongkat di bagian lengan, wajah, leher, dan bahu.

Budi dan Ryan telah menunjukkan identitasnya sebagai jurnalis, namun pihak kepolisian tetap masih melakukan kekerasan terhadap mereka.

Baca Juga: Tak Terima Ani Yudhoyono yang Sedang Sakit Keras Diserang Buzzer Politik, Elite Partai Demokrat Mundur dari Koalisi 02

Selain oknum aparat, ternyata massa juga melakukan hal yang sama pada para jurnalis.

Mereka melakukan persekusi dan merampas peralatan kerja jurnalis seperti kamera, telepon genggam, dan alat perekam.

Massa memaksa jurnalis untuk menghapus semua dokumentasi berupa foto maupun video.

Beberapa jurnalis bahkan mengalami tindak kekerasan fisik berupa pemukulan.

Baca Juga: Hasut Masyarakat Untuk Lakukan Perlawanan 22 Mei Lewat Facebook, Oknum Pilot Berhasil Diringkus Polisi

AJI Jakarta dan LBH Pers mengecam keras aksi kekerasan dan upaya penghalangan kerja jurnalis yang dilakukan oleh aparat kepolisian maupun massa aksi.

Tindakan yang mengintimidasi jurnalis saat meliput peristiwa kerusuhan itu bisa dikategorikan sebagai sensor terhadap produk jurnalistik.

Perbuatan itu termasuk pelanggaran pidana yang diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Baca Juga: Kejar Pelaku Pencurian Motor yang Nyamar Jadi Tukang Cuci Kendaraan, Polisi Alami Patah Tulang

Dalam undang undang tersebut berbunyi, setiap orang yang menghalangi kebebasan pers diancam penjara maksimal dua tahun, dan denda maksimal Rp500 juta.

Selain itu, pihak AJI Jakarta dan LBH Pers telah mengeluarkan tiga pernyataan menanggapi aksi kekerasan terhadap jurnalis yang sedang bertugas meliput aksi kerusuhan 22 Mei.

Baca Juga: Lama Diam, BJ Habibie Beri Pesan Menyentuh Jelang Pengumuman Hasil Pemilu 22 Mei

Pernyataan tersebut antara lain:

1. Mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis, baik oleh polisi maupun kelompok warga.

2. Mengimbau kepada para pemimpin media untuk bertanggung jawab atas keselamatan jurnalis saat bertugas di lapangan. Memberikan pembekalan pengetahuan Safety Journalist dan beri penanganan trauma yang terjadi selama peliputan.

3. Mengimbau para jurnalis yang meliput aksi massa untuk mengutamakan keselamatan dengan menjaga jarak saat terjadi kerusuhan.(*)