Find Us On Social Media :

Kembali Jadi Sorotan Soal Metode Pengobatan Stroke Ciptaannya, Menteri Kesehatan Indonesia Dapat Kecaman dari Dokter dan Ilmuan: Tak Layak Pimpin Kebijakan Kesehatan di Indonesia

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.

Laporan reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade

Gridhot.ID - Nama Terawan Agus Putranto kembali ramai dibicarakan publik belakangan ini.

Terlebih sekarang pria yang juga berprofesi sebagai dokter militer ini kini menjabat sebagai Menteri Kesehatan dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024.

Usut punya usut, dokter Terawan merupakan sosok yang sempat memiliki riwayat kontroversi dalam bidang kesehatan.

Baca Juga: Datang ke Polres Jember Ngaku Habis Diperkosa, Kebohongan Nenek 65 Terbongkar Berkat Bercak Darah di Spreinya, Padahal Kapolres Sudah Simpati dan Tanggung Biaya

Mengutip artikel NOVA yang terbit pada April 2018 silam, Terawan ternyata sempat mendapatkan sanksi pemecataan dari keaggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selama 12 bulan.

Sanksi tersebut muncul akibat metode 'cuci otak' yang dilakukan oleh Terawan selama ini.

Belakangan ini, Menteri Kesehatan Ini mendapat sorotan usai rumah sakitnya mulai menggunakan perawatan kontroversial untuk stroke yang telah dirintisnya.

Baca Juga: Polisi Ungkap Detik-detik Kematian Lina, Terjatuh dan Tak Sadarkan Diri Usai Jalankan Shalat Subuh, Beda dengan Pengakuan Teddy?

Melansir dari sciencemag.org, banyak dokter dan ilmuan yang mengatakan bahwa belum ada bukti soal bekerjanya pembilasan intra-arterial heparin (IAHF) ciptaan dokter Terawan.

Hal ini justru dianggap membahayakan bagi pasien penderita stoke.

Dokter Terawan pun dinilai tidak layak untuk memimpin kebijakan kesehatan di Indonesia.

“Kami benar-benar perlu melindungi pasien kami dan seluruh masyarakat,” kata Irawan Satriotomo, ahli saraf Indonesia yang bekerja di University of Florida.

Baca Juga: Bukan Rekaman Detik-detik Pembantaian Jenderal Qasem Soleimani, Video Simulator yang Beredar di Sosial Media Rupanya Bagian dari Game

Rincian tentang IAHF pun agak samar, tetapi merupakan variasi pada prosedur diagnostik yang disebut digital subtraction angiography (DSA), yang digunakan untuk membuat pembuluh darah di otak terlihat.

Dalam DSA, kateter dimasukkan ke dalam kaki pasien dan melewati pembuluh darah otak, dan pewarna kontras disuntikkan yang dapat dibuat terlihat menggunakan pencitraan x-ray.

Sedikit heparin, antikoagulan, disuntikkan untuk mencegah pembentukan gumpalan darah pada kateter.

Baca Juga: Jadi Dalang di Balik 2 Orang Sewaan Pembunuh Suaminya, Istri PN Medan Siap Terima Vonis Pengadilan, Sang Anak Minta Ibunya Tak Dihukum Mati

Dokter Terawan dikenal sebagai ahli Radiologi yang berhasil mengubah alat diagnostik ini menjadi pengobatan dengan menerapkan heparin tambahan untuk menghilangkan gumpalan darah yang mungkin terbentuk selama stroke.

Dia mengembangkan terapi sementara di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto dan dilaporkan telah menggunakannya pada ribuan pasien sejak 2012

Prosedur ini dilakukan untuk mencegah dan mengobati stroke.

Di antara pasiennya ada beberapa pengusaha, pemimpin militer, dan politisi terkemuka, termasuk mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Baca Juga: Sembunyi di Balik Kekuatan Besar Militer AS, Ternyata Sosok Ini yang Jadi Otak Pembunuhan Jenderal Soleimani, Sudah Susun Rencana Puluhan Tahun Silam

"Itu bisa diterapkan, mengapa tidak?" Katanya di sebuah seminar di Denpasar, Indonesia, pada akhir Desember 2019, menurut media berita lokal .

“Yang kita butuhkan sekarang adalah kemauan. Jika kami memiliki kemauan yang kuat, maka kami dapat menemukan dana, ” tambahnya.

Namun, berdasarkan tinjauan pada tahun 2016, lima ahli syaraf Infonesia menyimpulkan tidak ada bukti bahwa prosedur ini efektif dan mengatakan tidak sesuai dengan standar perawatan stroke yang diterima secara internasional dari American Heart Association dan American Stroke Association.

Baca Juga: Mulan Jameela Terlanjur Dicap Pelakor, Ternyata Justru Ahmad Dhani yang Pertama Pergoki Maia Estianty Selingkuh, Berawal dari Sadap Telepon Ibunda Al Ghazali Hingga Temukan Bukti

Mereka menunjukkan bahwa prosedur ini memiliki risiko kecil komplikasi neurologis dan nonneurologis, dan risiko kematian 0,05% hingga 0,08%.

Dalam uji klinis pada 75 pasien yang diterbitkan pada tahun 2016 di Bali Medical Journal , Terawan melaporkan bahwa IAHF dapat "secara signifikan meningkatkan kekuatan otot" pada pasien dengan stoke kronis.

Tetapi hasilnya “secara statistik tidak meyakinkan,” kata Rizqy Amelia Zein, seorang aktivis ilmu pengetahuan terbuka dan seorang psikolog sosial di Universitas Airlangga.

Komunitas medis Indonesia telah mencoba untuk menghentikan Terawan sebelumnya.

Baca Juga: Besok Ada Gerhana Bulan Penumbra, Ini Jadwalnya Menyaksikannya di Indonesia, Bisa Ditonton dari 4 Benua

Pada tahun 2013, atas dorongan Satriotomo, Asosiasi Neurologis Indonesia berbicara keras menentang terapi dalam surat terbuka. Pada tahun 2018, Dewan Etik Asosiasi Medis Indonesia (IDI) memanggil Terawan untuk rapat untuk menjelaskan karyanya.

Dia tidak muncul, dan dewan mendapati dia bersalah atas empat pelanggaran etika: membebankan biaya besar untuk perawatan yang tidak terbukti, secara salah menjanjikan pasien penyembuhan, promosi diri yang berlebihan, dan tidak bekerja sama dengan dewan.

Baca Juga: Batal Nikahi Anggota DPR, Aktris Ini Pilih Clubbing dan Lepas Hijab Lagi

IDI pun sempat mencabut keanggotaan Terawan selama 1 tahun.(*)