Find Us On Social Media :

250 Armada Berjejer di Bawah Komandonya, Intip Biodata Haryanto, Sang Raja Bus Indonesia Pensiunan TNI yang Jadi Sorotan Usai Bertemu Letjen Doni Monardo, Bukan Datang dari Kalangan Konglomerat

Sosok pemilik PO Haryanto

Gridhot.ID - Nama Haryanto memang sudah sangat terkenal di Indonesia terutama di pulau Jawa.

Dikutip Gridhot dari Kompas.com, Haryanto merupakan pemilik PO Haryanto, salah satu perusahaan bus terbesar di Indonesia.

Sosoknya pun viral karena kebaikannya terhadap para karyawannya.

Haryanto sering kali memberangkatkan umroh para sopir dan pegawainya.

Berikut biodata Haryanto, pensiunan TNI AD yang kini sukses memiliki bisnis bus hingga dijuluki Raja Bus.

Dikutip Gridhot dari Surya, kisah sukses Haryanto terungkap saat ia menyambut kunjungan Ketua Umum DPP PPAD Letjen TNI Doni Monardo di Kudus, Jawa Tengah.

Haryanto merupakan pensiunan kopral yang kini jadi pemilik bisnis otobus yang sukses.

Pendek kata, Kopral Haryanto sekarang bisa dibilang sebagai “Raja Bus”.

Haryanto mengaku sangat senang bisa bertemu langsung dengan Letjen TNI Doni Monardo.

Baca Juga: Sudah Dituding Istri Nusyuz, Pedangdut Ini Pilu Tak Dinafkahi YouTuber yang Penghasilannya Rp 500 Juta per Bulan, Pilih Jualan Es Kelapa Setelah Diceraikan: Aku Nggak Malu

“Beliau orang besar. Saya banyak mendengar tentang beliau,” ujarnya, melansir dari Tribun Jabar dalam artikel 'Kisah Kopral Haryanto dari Tentara Jadi Raja Bus Indonesia, Terapkan Manajemen Langit'.

Saat ngobrol sambil menunggu kedatangan rombongan pengurus PPAD pusat, Haryanto menceritakan sedikit kisahnya.

Haryanto mengaku bahwa orangtuanya bekerja sebagai buruh tani.

“Saya anak orang kampung. Orang tua saya hanya buruh tani. Sesekali kerja sambilan di pasar Kudus. Saya anak keenam dari sebelas bersaudara,” ujarnya membuka kisah.

Orang tua mendidiknya dengan keras.

Sejak kecil ia sudah menjadi penggembala sapi milik tetangga, mengarit rumput untuk dijual sebagai pakan ternak, atau berjualan es.

Semua ia lakukan untuk menambah penghasilan keluarga.

Lulus SD lanjut ke SMP, lalu meneruskan ke STM.

Sampai di STM, Haryanto belum ada bayangan masa depan seperti apa yang kelak ia lalui.

Baca Juga: Indra Kenz Terancam Dimiskinkan Sampai 10 Aset Disita dan 4 Rekening Diblokir, Nasib Vanessa Khong Sang Tunangan yang Kerap Diberi Uang Saku Fantastis Dipertanyakan

Bertekad mengubah nasib, ia tinggalkan Kudus menuju Serpong, Kabupaten Tangerang (sekarang Kota Tangerang Selatan).

Ia menumpang di rumah kerabat dan teman yang lebih dulu merantau.

Tak jauh dari tempat tinggalnya, terdapat Markas Batalyon Artileri Pertahanan Udara 1/Purwa Bajra Cakti (Yon Arhanud 1/Rajawali).

Batalyon tersebut merupakan batalyon artileri pertahanan udara di bawah komando Divisi Infanteri 1/Kostrad.

Seketika Haryanto terngiang cita-cita masa kecilnya untuk menjadi tentara dan mengenakan seragam loreng.

Singkat kalimat, Haryanto pun mencoba melamar masuk TNI-AD tahun 1979.

“Alhamdulillah saya lolos, lalu memulai pendidikan Secata di Gombong, Kebumen,” ujarnya.

Lima bulan mengikuti Secata (Sekolah Calon Taruna), Haryanto lulus dan berhak menyandang pangkat Prajurit Dua (Prada).

Dikatakan, selama lima bulan di Secata ia –bersama prajurit siswa lain-- digembleng menjadi prajurit tangguh dan pantang menyerah.

Baca Juga: Dipolisikan Setelah Dikhianati Steno Ricardo, Mawar AFI Pamer Foto Bareng Tim Kuasa Hukum, Ingin Belajar Berdamai dengan Keadaan: Memang Nggak Mudah

Setelah lulus ia ditempat-tugaskan di Batalyon Artileri Pertahanan Udara I/Rajawali Serpong. Tak jauh dari tempat rantaunya.

Sebuah batalyon yang mengemban peran, fungsi, dan tugas pokok memberikan perlindungan udara terhadap objek vital maupun titik rawan.

Di batalyon itu, Haryanto ditugaskan sebagai pengemudi atau sopir batalyon.

"Saya dididik jadi pengemudi. Tugas saya mengangkut alat-alat berat, meriam, beras untuk logistik dan perminyakan," kenang Haryanto.

Ingin tahu berapa gaji seorang prajurit dua (Prada) tahun 1979?

“Sekitar delapan-belas-ribu rupiah per bulan,” ujar Haryanto.

Sebagai pengemudi batalyon, sehari-hari bergulat dengan kendaraan bermotor.

Ia pun belajar tentang teknik mesin di bengkel batalyon.

Pengetahuannya tentang seluk-beluk kendaraan bermotor pun ia kuasai.

Baca Juga: Dipolisikan Setelah Dikhianati Steno Ricardo, Mawar AFI Pamer Foto Bareng Tim Kuasa Hukum, Ingin Belajar Berdamai dengan Keadaan: Memang Nggak Mudah

Memanfaatkan jam kosong di luar dinas, Haryanto mulai berpikir tentang mencari tambahan penghasilan. Satu-satunya pekerjaan yang kuasai dengan baik adalah mengemudi.

Maka, ia pun bekerja sambilan sebagai sopir angkot.

Dengan gaji prajurit ditambah penghasilan tambahan sebagai sopir angkot, tahun 1982 Haryanto memberanikan diri membangun rumah tangga.

Ia meminang wanita pujaan hati, Suheni (pasangan ini dikaruniai tiga putra dan tujuh cucu).

Hj Suheni meninggal dunia 22 April 2014. Selang beberapa tahun kemudian Haryanto menikahi Nurhana (sinden dan penyanyi campursari kondang-red).

Usai menikah, lazim jika kebutuhan bertambah. Dengan gaji tentara serta tambahan sebagai sopir angkot, tak jarang ia harus gali lubang utang, sekadar bisa membayar sewa kontrakan yang berukuran 3x4 meter.

Himpitan ekonomi, justru melecut tekad Haryanto untuk bekerja lebih gigih.

“Saya mulai bisa menabung. Kadang sepuluh ribu per hari, kadang lebih, kadang kurang, tergantung rezeki yang saya dapat,” ujarnya.

Baca Juga: Lekat dengan Sesuatu yang Berbau Mistis dan Gaib, Bunga Kantil Rupanya Masuk 7 Jenis Herbal untuk Atasi Asam Lambung

Tahun 1984, tabungannya mendekati satu juta rupiah. Bulat hati ia mencicil satu unit mobil angkutan kota (angkot) warna biru muda berikut izin trayeknya. Trayek R-03-A melayani jalur Pasar Anyar – Serpong.

Ia bahkan masih ingat betul jalur yang biasa ia lalui, mulai dari Pasar Anyar - Stasiun Tangerang - Jl TMP Veteran - Jl Mohammad Yamin – Cikokol - Jl MH Thamrin - Kebon Nanas - Jl Serpong Raya Pakulonan - JL. Pahlawan Seribu - Jl.Kapten Soebianto Djodjohadikusumo - Cilenggang - Kramat Tajug - Asrama Polsek Serpong - Jl.Raya Serpong - Pasar Serpong dan berakhir di Stasiun Serpong.

“Tapi waktu itu jalannya belum sebagus sekarang,” katanya seraya menambahkan, “masih banyak kebun karet. Lubang jalan di sana-sini.”

Demi pundi-pundi rumah tangga, ia bahkan menambah jam kerja sebagai sopir.

Suheni yang mengatur keuangan, termasuk tradisi menabung. Tak heran jika Haryanto bisa menambah jumlah angkot dari hasil tabungannya.

“Penghasilan tambahan juga kami dapat dari mengageni tiket bus antarkota,” kata lelaki kelahiran Kudus, 17 Desember 1959 itu.

Ketekunan dan kerja kerasnya terbayar lunas dengan peningkatan penghasilan serta asset yang dimiliki.

Jumlah angkot dari satu, tambah dua, tiga, empat, lima hingga tembus angka seratus unit! Hampir semua trayek ia punya.

Bahkan, masih di sekitar tahun 90-an ia sudah membuka showroom khusus angkot. “Cukup laris, tiap bulan bisa menjual 20 sampai 30 unit,” katanya senang.

Baca Juga: 'Mengerikan', Inilah Kesaksian Mahasiswa Yaman yang Melarikan Diri dari Perang di Ukraina

Karier militer Suharyanto berjalan relatif mulus. Sejak masuk batalyon tahun 1979 dengan pangkat Prajurit Dua (Prada) hingga tahun 2002, Haryanto sudah berpangkat kopral kepala.

Usia pengabdian Haryanto tercatat 23 tahun.

Haryanto pun memilih pensiun, meski masih ada kesempatan mengabdi sampai usia 48 tahun, sesuai UU yang berlaku waktu itu.

“Karena pengabdian saya sudah melampaui batas 20 tahun, maka saya sudah bisa mengajukan pensiun. Uang pensiun saya waktu itu delapan ratus ribu per bulan,” ujarnya.

Haryanto tetap menghargai setiap rupiah yang ia terima dari pengabdiannya sebagai prajurit TNI.

Sekalipun, sebagai pengusaha ratusan angkot, penghasilannya bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulan.

Bersamaan tahun pensiun, Haryanto merambah bisnis angkutan bus.

“Saya dapat kepercayaan kredit dari BRI sebesar tiga miliar.

Uang itu saya pakai untuk membeli enam unit bus dengan nama PO Haryanto. Logonya Menara Kudus,” ujarnya.

Baca Juga: Cerai Setelah 23 Tahun Menikah Karena Tak Sudi Dipoligami Suami, Artis Senior Ini Pamer Kebahagiaan Bersama Pendamping Hidup Baru: Semoga...

Awalnya, ia hanya mengoperasikan bus non-AC alias kelas ekonomi. Rutenya pun relatif pendek, yakni Cimone (Tangerang) – Cikarang (Bekasi) menempuh jarak 89 km.

“Di usaha bus, saya juga mengalami jatuh-bangun. Hingga saat ini trayek PO Haryanto melayani hampir semua kota besar di Jawa dan beberapa kota di Sumatera.

Armada kami sudah lebih 250 unit bus. Bisa dibilang, merajai,” ujar Haryanto.

Saking banyaknya armada, pool PO Haryanto tidak hanya di Tangerang dan Kudus, tetapi juga di sejumlah kota lain di Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Haryanto bahkan sudah mengembangkan sayap bisnisnya ke usaha restoran dan SPBU.

(*)