Pada awal kepemimpinannya, otoritas dipusatkan di tangannya tetapi kemudian Wiweko membatasi kegiatannya hanya pada masalah strategis.
Wiweko disebut-sebut jadi satu-satunya dirut yang sering berdialog dengan para penerbang dan teknisi, yang mau turun ke lapangan sampai ke bengkel pesawat hingga menerbangkan penumpangnya sendiri.
Gaya kepemimpinannya dikritik terlalu otoriter dan tidak transparan, namun di sisi lain transparansi itu dituangkan dalam buku laporan tahunan alias annual report.
"Perusahaan model yang diperlukan, bahkan merupakan suatu tuntutan di negara yang sedang membangun seperti Indonesia ini, adalah perusahaan yang mampu untuk selalu meningkatkan daya pemupukan modal. Selain modal ini diperlukan untuk membangun, sekaligus juga untuk mengejar ketinggalan," kata Wiweko kala itu.
Ia melangkah lebih jauh lagi dan berhasil membawa Garuda memasuki pasar modal internasional, ditandai dengan pemberian pinjaman komersial oleh sebuah konsorsium bank yang dipimpin oleh The Chase Manhattan Bank untuk pembelian sebuah pesawat DC-9 pada tahun 1972.
Pinjaman tersebut sejak awal hingga akhir ditangani langsung oleh Garuda sendiri, tanpa jaminan pemerintah orde baru. Sebagai jaminan atas pinjaman tersebut adalah DC-9 yang dibelinya.
Langkah ini merupakan awal ekspansi Garuda hingga kemudian dengan bekal kredibilitas dan kiat pemupukan modal, membangun armada Garuda dengan nilai 1,2 miliar dollar AS.
Dua unsur dasar itu diperoleh Wiweko dari pengalaman zaman perjuangan 1949 dengan Indonesian Airways di Burma (Myanmar).