Waktu itu yang menjadi Residen adalah Kapten Simon Keesjong. Perwira ini bersama para Pembesar Mataram lainnya yang tidak turut dalam perjalanan, mengantarkan Sunan sampai di batas kota.
Setelah segala upacara basa-basi perpisahan di batas kota, Keesjong cs kembali ke ibukota. Dan bergeraklah rombongan Sunan, Ibu Suri, Permaisuri, Putera Mahkota dan para Pembesar di atas tandu semuanya, diiringi perajurit dan pelayan serta pasukan Kompeni.
Pawaiyang jumlahnya ribuan ini tentu saja merupakan tontonan cukup menarik bagi penduduk desa-desa yang dilalui. Rombongan berhenti dan mengaso untuk menginap berturut-turut di Delanggu dan Gondang, dua kota Kecamatan yang kini terletak di daerah Klaten.
Tanggal 5 September 1724 pagi, rombongan dipecah menjadi dua. Ibu Suri dengan sebagian rombongan bertolak menuju Kuto Anyar yang letaknya kira-kira di kota Yogyakarta sekarang, sedangkan Sunan dan rombongan menuju ke Karto Winoto, yaitu daerah Madu Gondo di sebelah Tenggara Yogyakarta sekarang.
Di tempat ini Sunan tinggal selama 12 hari, karena dari sini dapat dikunjungi dengan mudah beberapa tempat ziarah, antara lain Kuto Gede tempat makam Kyai Gede Pemanahan leluhur dinasti, Panembahan Senopati atau Sutowijoyo pendiri Mataram, dan Sunan Anyokrowati atau Sunan Sedo Krapyak.
Sebagai selingan kegiatan ziarah inilah Sunan telah mengadakan beberapa acara rekreasi.
Tanggal 6 September, Sunan menyelenggarakan rekreasinya yang pertama. Para punggawa yang tugasnya memikul tandu, semua dikumpulkan di alun-alun. Mereka diharuskan bermain "Sodoran" atau "Senenan".
Permainan yang juga populer di Eropa pada abad pertengahan ini pada pokoknya adalah berusaha menjatuhkan lawan dari atas kuda yang dikendarainya dengan sebatang bambu.
Akan tetapi karena pertandingan kali ini dilakukan oleh para punggawa yang bukan tugasnya melakukan hal itu, maka terjadilah adegan lucu dan menggelikan.
Letnan Coster melaporkan (dalam bahasa Belanda yang berlaku abad itu) bagaimana para punggawa tadi.