Gridhot.ID - Peperangan memang selalu menyisakan cerita.
Rakyat Indonesia yang pernah dijajah dan berperang lepas dari penjajahan tersebut tentu juga miliki berbagai macam cerita menarik semasa perang.
Salah satu cerita unik semasa perang justru terjadi pada pria ini.
Suatu pertemuan mengharukan terjadi ketika Ben Mamoto, yang asal Minahasa sedang belajar di Amerika Serikat, secara kebetulan berjumpa dengari seorang pilot pembom B-25, penggempur kawasan Indonesia ketika PD II.
Baca Juga: Dulu Atlet Lari, Anggota TNI Ini Kini Jadi Orang Dekat Presiden Jokowi, Ini Sosoknya
Berikut ini, kisahnya, seperti dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 1992.
Sebuah perjumpaan dengan orang asing sering kali berlalu tanpa kesan, kalau tak dilupakan.
Namun, ada kalanya sebuah pertemuan membawa kenangan indah yang berkelanjutan, sepert pengalaman saya di Brooklyn, New York City, AS, musim gugur beberapa tahun lalu.
Pertama kali tiba di daerah ini saya menginap di Hotel YMCA. Kamarnya kecil dengan TV menempel di dinding, kamar mandi pun cuma ruangan besar dilengkapi beberapa pancuran tanpa sekat.
Untuk- orang yang tidak biasa mandi telanjang ramai-ramai terpaksa harus mencuri waktu malam. Toh, hotel murah ini dapat menolong para pendatahg yang isi kantungnya terbatas.
Menemukan apartemen murah di New York City, apalagi di jantung Kota Manhattan, bukan pekerjaan yang mudah. Sambil terus mencari tempat tinggal, mau tak mau saya harus bertahan di hotel ini.
Pernah saya ditawari kamar di loteng yang langit-langitnya begitu rendah, sehingga kalau masuk pun badan harus terbungkuk-bungkuk. Melihat lklan di koran pun ternyata tak bisa menjanjikan harapan.
Karena umumnya harus melalui perantara dengan tarif di atas 50 dolar. Uang sebesar itu pun hanya untuk menunjukkan tempat saja, tanpa jaminan diterima. Pemilik apartemen berhak memilih siapa yang cocok untuk menempati.
Dia akan menimbang dari bonafiditas si peminat, punya binatang piaraan atau tidak, punya anak kecil dan sebagainya. Yang terakhir ini merupakan angka minum dalam penilaian.
Setelah lelah mencari tempat di sekitar tempat studi, School of Public Health, Columbia University, di Upper Manhattan saya menerima tawaran dari seorang kenalan yang bekerja di Konsulat Jenderal Indonesia, untuk tinggal di Brooklyn.
Apartemen yang dimaksud tanpa mebel, tanpa fasilitas hunian. Kecuali lemari es dan peralatan memasak, dua kamar tidur, kamar tamu, dan dapur kosong.
Supaya irit untuk melengkapi peralatan rumah tangga, kita harus memiliki "mata keranjang sampah."
Istilah ini saya peroleh dari Arief dan Leila Budiman saat mereka kuliah di Harvard University.
Kultur Amerika adalah kultur sekali pakai, buang. Tiap pergantian musim, tak jarang kita temukan meja, kursi, kasur danalat rumah tangga lain dibuang di samping trotoar menunggu truk pengangkut sampah.
Dengan "mata keranjang sampah" kita dapat berburu barang yang diperlukan. Tinggal, mampu atau tidak kita menggotongnya ke dalam rumah.
Pembom PD Il di toko karpet
Penghuni kawasan Brooklyn ini kebanyakan imigran baru dari Eropa Timur, Asia terutama Cina dan Korea, Meksiko serta pendatang dari Italia dan Yahudi Eropa.
Tak aneh bila terdapat restoran Cina, toko pizza, toko sayuran milik orang Korea, toko karpet dan pasar swalayan milik orang Yahudi.
Beberapa hari lamanya saya tergoda untuk membeli karpet, sebagai penangkal dingin udara New York yang menusuk tulahg.
Suatu hari, di tengah keraguan antara keterbatasan uang dan pentingnya benda penahan dingin tersebut, saya beranikan diri masuk toko karpet.
"Seiamat datang. Apa kabar?'' sambut si pemilik toko ramah.
Dengan nada seolah-olah ingin meyakinkan perkiraannya, bule jangkuhg itu bertanya lagi, Anda orang Korea?"
"Bukan," jawab saya singkat.
"Dari Vietnam?" tanyanya lagi. Ketika jawaban saya sama dengan jawaban sebelumnya, ia nampak penasaran sambil terus menebak, “Tapi orang Asia 'kan?"
“Ya, saya orang Asia Tenggara.”
"Saya tahu sekarang," ujarnya lega, “mengapa saya tidak bilang sebelumnya, Anda orang Filipina, tak salah lagi.”
“Salah! Saya orang Indonesia.”
Wajahnya tertegun sejenak mendengar kata Indonesia. Ada kesan bahwa ia sudah mengenal Indonesia.
Lamunan saya melayang. Bagi sebagian besar orang asing yang saya temui di Amerika, nama Indonesia tidak bermakna sama sekali.
“Indonesia? Bagian mana dari Indonesia?” Lamunan saya buyar, berbareng dengan berondongan pertanyaan dari si pemilik toko karpet tersebut.
"Sulawesi, atau lebih dikenal di peta Barat dengan nama Celebes," jawab saya.
"Bagian mana dari Celebes?" tanyanya lagi seraya mengulurkan kepalanya mendekat seakan tak sabar menunggu jawaban.
Ketika saya. Jawab, Manado, ia berteriak, sebelum akhirnya mendongakkan kepala sambil memejamkan mata. Selama beberapa detik ia diam.
"Apakah Anda pernah ke Manado?" Kini giliran saya yang heran, mustahil di sudut kota New York ini ada orang yang kenal daerah Minahasa.
Dengan mata berbinar-binar, ia memegang bahu saya dan mengajak duduk di atas gulungan karpet.
"Saya akan ceritakan, kenapa sampai kenal Manado."
Saya belum pemah ke Manado, dalam arti menginjakkan kaki di sana.
Tapi saya tahu persis Manado dan udara. Saya adalah pilot pembom B-25 saat PD II yang ditempatkan di sebuah landasan terbang di Irian Jaya.
Tugas saya membom pertahanan Jepang di Kalimantan dan Sulawesi.
Masih ingat di kepala saya, setiap kali habis membom Balikpapan, kami kembali ke markas melalui Manado dan menjatuhkan satu-dua bom di sana.
Kami menghancurkan jembatan, dan bangunan yang diduga markas Jepang Saya hafal Manado dan sekitarnya, deretan pohon kelapanya serta gunung-gunungnya.
"Setelah operasi selesai saya dikirim ke Tawi Tawi, Filipma," ceritanya berapi-api.
Dia diam sebentar sebelum meneruskan pertanyaan, "Di manakah kamu pada saat itu. Apakah kau sudah lahir?"
"Saya sudah lahir dan berada di salah satu desa di Manado Selatan.”
Hampir dibunuh
Sekejap, terbayang kembali kenangan PD II itu. Masa kecil saya yang selalu dihantui peperangan. Hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dalam pengungsian.
Sementara kekurangan pangan, apa saja yang kami temui di kebun harus dimakan.
Saya terkenang ulah tentara Jepang merampas kuda dan pukat kami.
Betapa bengisnya tentara Dai Nippon tersebut ketika marah, sampai memancung kepala SD di kampung kami.
Mendekah kapitulasi, kami kembali ke kampung. Namun pada suatu pagi yang cerah, kapal terbang sekutu B-25 datang dan menjatuhkan bom di jembatan dekat rumah kami. Ledakan dan getarannya keras sekali.
Lumpur dan reruntuhan jembatan jatuh persis menjebol atap rumah kami.
Pada hari lain, seorang penduduk desa berlarian mencari lubang perlindungan karena ada kapal terbang mendekat.
Malang, ia tak sempat menghindar, kakinya kena ledakan bom. Dia mati kehabisan darah.
"Hai, kalau begitu kamu hampir saja saya bunuh," katanya.
Saya tersentak kaget. Pemilik toko karpet itu merangkul saya.
"Oh, kamu hampir saya bunuh. Kalau itu sampai terjadi, tentu kau tidak ada di sini," lanjutnya menghibur keharuan saya.
Selanjutnya mantan pejuang ini mencentakan pengalamannya dalam Perang Pasifik tersebut, juga tentang kawan-kawannya yang gugur dan keluarganya yang terbunuh dalam kamp-kamp konsentrasi Hitler.
Selesai bercenta, terlihat matanya berkaca-kaca terharu.
Yang jelas, sore itu saya pulang ke rumah dengan setumpuk kenangan. Karpet pun tak jadi dibeli.
Esok harinya, dia saya perkenalkan kepada istri dan anak saya. Dia bercenta tentang istri dan kedua anaknya yang sudah menikah.
Mereka tinggal di bagian ujung Long Island. Setiap musim dingin keluarga ini bermigrasi ke Flonda sampai bunga-bunga bersemi kembali.
Dua tahun lamanya kami tinggal di Brooklyn. Sejak pertemuan itu hubungan kami terjalin akrab.
Bahkan setelah kembali ke Indonesia pun korespondensi terus berjalan. Kebiasaan yang sampai sekarang terus dilakukan, menyisipkan satu dolar untuk anak saya.
"Untuk beli es krim,” begitu tulisnya.
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul Bertemu dengan Pilot Pembom yang Menyerang Indonesia Saat Perang Dunia II.
(*)