Ungkapan terakhir memiliki arti bahwa mereka menjadikan Minangkabau sebagai tempat mengadu atau tempat orang yang patut dijadikan "Yamtuan" atau Yang Dipertuan.
Sebelum memiliki raja dari Minangkabau, perpolitikan di Negeri Sembilan cukup panas.
Ada perebutan kekuasaan, termasuk oleh orang-orang Johor dan Bugis.
Barulah pada sekitar 1773, setelah Negeri Sembilan terkatung-katung, Johor memperbolehkan mendatangkan putra mahkota dari kerajaan Pagaruyung Minangkabau untuk memerintah dan mengusir orang Bugis.
Raja Malewar atau Mahmud dari Minangkabau itu berkuasa dari 1773-1795 dan berhasil menegakkan hukum adat ala Minangkabau sekaligus mengusir orang Bugis dengan sukses.
Duo orang raja Pagaruyung lainnya yang dijemput ke Minangkabau sesudah Raja Malewar ialah Raja Hitam (1795-1808) dan Raja Malenggang Alam atau Raja Lenggang (1808-1824).
Sebagai kerajaan yang otonom, Negeri Sembilan tentu memiliki raja dan pemerintahannya sendiri namun juga sering mendapat intervensi dari luar.
Pada 1965, ketika Federasi Malaya yang terbentuk setelah PD II bubar, mereka memerdekakan diri dari Inggris dan Negeri Sembilan menjadi salah satu dari negara bagian Malaysia.
Meskipun Negeri Sembilan saat ini sudah menjadi bagian dari sejarah, hubungan kesejarahannya dengan Minangkabau masih terpelihara.