Setelah terbang lebih dari 100 km di atas hutan kosong yang tidak berpenduduk, maka sampailah pesawat di tempat sungai bercabang atau di hulu Sungai Kelai. Di situ terletak sebuah kampung orang Dayak Puhan yang terletak jauh dari mana-mana.
Kalau kita terbang terus ke arah hilir, maka akan terlihat beberapa kampung orang Dayak itu, lalu sebuah kamp penebangan kayu. Kemudian sungai ini akan bertemu dengan induknya, yaitu Sungai Berau yang memiliki sebuah landasan kecil sepanjang 700 m. Itulah tujuan kami.
Navigasi udara dengan menuruti sungai ini sering diledek navigasi kampungan IFR (I follow the river). Tetapi berpuluh kali saya lepas dari bahaya dengan cara ini.
Saya mendarat dengan mulus di Berau.
Ternyata pesawat MNA 416 yang seharusnya datang dua belas menit di belakang saya, tidak kunjung tiba.
Cuaca di daerah perbukitan kira-kira dari 1° Lintang Utara dan seterusnya sampai Berau betul-betul bagus. Tidak lama kemudian saya berangkat menuju Tarakan.
Malam itu, waktu sedang istirahat di mess Bouraq di Tarakan, saya diberi tahu lewat telepon dari Samarinda. Siang tadi pesawat MNA dengan nomor penerbangan 416 telah hilang.
Petang tadi telah dikirim pesawat lain untuk memeriksa landasan-landasan terbang sepanjang jalur Samarinda — Berau, yaitu Tanjung Santan, Bontang, Sangatta, Bungalon, Sangkulirang dan Berau, tetapi tidak dijumpai pesawat itu di sana.
Lama saya terpaku di situ tanpa bisa berkata apa-apa. Pikiran saya hanya satu: Pesawat itu pasti jatuh ketika siang tadi bersama kami menerjang badai guntur yang hebat sekali ....
Tempatnya juga pasti di antara garis khatulistiwa dan 1° Lintang Utara. Di sebelah utara 1°, di bukit-bukit cuacanya baik. Kata-kata saya mengenai posisi ini direkam oleh TVRI dua hari kemudian.