Gridhot.ID - Kontak senjata antara TNI-Polri dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua belakangan sering terjadi.
Sekretaris II Dewan Adat Papua John Gobay pun melaporkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada operasi penegakan hukum di Intan Jaya, Papua.
John Gobay menyebut ada tindak pelanggaran HAM di tengah baku tembak TNI-Polri dengan KKB Papua mulai Desember 2019 sampai sekarang.
Baca Juga: Bersatu Demi Rebut Freeport Indonesia, Kekuatan Anak Buah Lelagak Telenggen, Egianus Kogoya Hingga Gusbi Waker Tak Ada-apanya, Anggota TNI-Polri Mampu Hadang KKB dan Kuasai Balik 4 Kampung di TembagapuraBahkan, Gobay meminta agar presiden Joko Widodo (Jokowi) menarik TNI-Polri dari Papua.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD pernah menolak usulan TNI-Polri ditarik dari Papua.
Berikut rangkuman faktanya dilansir dari Antara dalam artikel 'Dewan Adat Papua lapor Komnas HAM dugaan pelanggaran HAM di Intan Jaya'.
1. Lapor ke Komnas HAM
John Gobay melaporkan dugaan adanya pelanggaran HAM yang terjadi dalam operasi penegakan hukum di Intan Jaya dan Paniai, Papua ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
"Kami menyampaikan dugaan pelanggaran HAM, kami meminta kepada Komnas HAM untuk membentuk tim, melakukan pemantauan dan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM pada operasi penegakan hukum di Intan Jaya dan Paniai" ujar Gobay di Kantor Komnas HAM.
Dalam rentang waktu mulai Desember 2019 sampai sekarang, kata Gobay, terjadi kontak tembak antara TNI-Polri dan KKB Papua, yang menyebabkan beberapa orang tertembak mati.
2. Diduga salah sasaran
Gobay menyebut mereka yang tertembak mati diduga merupakan korban salah sasaran.
Mereka di antaranya Alex Kobogau yang tertembak mati pada 28 Januari 2020, serta Kayus Sani dan Melky Tipagau yang tertembak mati pada 18 Februari 2020.
Gobay mengatakan mereka yang tertembak mati merupakan masyarakat sipil dan bukan bagian dari KKB Papua.
"Menurut laporan dari lapangan kepada pimpinan TNI-Polri mereka ini KKB papua, sementara yang kami dapatkan laporan dan telah kami verifikasi, ternyata mereka ini bukan, mereka ini adalah masyarakat sipil" ujar Gobay.
Selain korban meninggal, Gobay juga menyebut terdapat sejumlah masyarakat sipil yang mengalami luka-luka selama berlangsungnya operasi penegakan hukum di Intan Jaya dan Paniai tersebut.
Di antaranya seorang anak laki-laki berusia 8 tahun bernama Jeckson Sondegau yang terkena luka tembak.
Lalu ada dua perempuan, masing-masing bernama Elepina Sani yang terkena luka tembak di tangan, dan Malopina Sani yang tertembak di kaki.
"Dengan fakta ini kami menyimpulkan bahwa telah terjadi dugaan pelanggaran HAM pada operasi penegakan hukum yang terjadi Desember 2019 sampai Maret masih terjadi, masih ada mereka di sana" ucap Gobay.
3. Minta TNI-Polri Ditarik
Gobay meminta kepada Presiden Jokowi agar memerintahkan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto untuk menarik pasukan yang ditugaskan di Intan Kaya dan Paniai.
"Karena kedua Kabupaten ini selama ini aman, tidak ada keributan" kata dia
Gobay juga meminta pemerintah pusat agar terlebih dahulu berkoordinasi dengan pemerintah daerah sebelum melakukan operasi penegakan hukum di tanah Papua.
"Kami meminta kepada pemerintah pusat agar dalam penggunaan kewenangan absolut di bidang pertahanan dan keamanan agar dapat berkoordinasi dulu dengan pemerintah daerah.
Forkompinda di daerah agar mereka dapat mengkoordinasikan di daerah untuk sama-sama menciptakan kondisi yang aman dan damai, bukan dengan cara seperti sekarang dengan cara melakukan pengerahan pasukan ke Papua" ujar Gobay.
4. Tanggapan Komnas HAM
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara yang menerima langsung kehadiran John Gobay mengatakan akan segera menindaklanjuti laporan tersebut.
"Kami juga sudah punya tim Papua yang memang salah satu tugasnya merespon setiap ada kejadian dugaan pelanggaran seperti yang pak John adukan sekarang ini.
Tentu saja karena ada aduan, kami otomatis bekerja dan juga dibantu oleh kawan-kawan di Papua" ucap Beka.
"Saat ini kami sedang mencari keterangan kepada kepolisian, khususnya Kapolda Papua yang juga nanti pada gilirannya akan mencari keterangan misalnya ke Pangdam, ke pihak-pihak lain."
"Hal ini supaya benar-benar memastikan pertama, kebenaran dari peristiwa itu terungkap, kedua, harus ada keadilan bagi para korban baik yang meninggal maupun yang luka-luka, ketiga, penegakan hukum harus diperjelas seperti apa penegakan hukum yang menjadi jargon aparat keamanan" tambah Beka.
5. Mahfud MD pernah menolak
Sebelumnya, Mahfud MD pernah menolak secara tegas usulan TNI-Polri ditarik dari Papua.
Di saat teror KKB Papua semakin beringas, ada usulan yang meminta TNI-Polri segera hengkang dari Papua.
Tentu saja usulan itu ditentang oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD.
Bahkan, Mahfud MD menyebut kalau sehari saja TNI-Polri ditarik maka akan terjadi kehancuran.
Terlebih lagi, KKB Papua semakin beringas melakukan aksi teror baru-baru ini.
Contohnya saja warga Tembagapura yang berbondong-bondong mengungsi lantaran takut dengan sepak terjang KKB Papua.
Teror KKB Papua juga menelan korban juwa dari pihak aparat maupun masyarakat.
Sehingga wajar saja Mahfud MD menolak usulan TNI-Polri ditarik dari Papua.
Hal ini diungkapkan oleh Mahfud MD saat memberikan sambutan dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengamanan Perbatasan Negara di Hotel Pullman, Jakarta, Rabu (11/3/2020).
"Ada yang usul, TNI-Polri enggak usah ikut-ikut, biar enggak terkesan militeristik. Loh bagaimana sebuah negara melarang TNI-Polri masuk menjaga negaranya, enggak mungkin," ujar Mahfud, dilansir dari Kompas.com.
Mahfud menegaskan, sejak kali pertama usulan tersebut berhembus, pihaknya mengklaim menjadi orang paling tidak setuju agar TNK-Polri ditarik dari Papua.
Menurut dia, TNI-Polri harus tetap bertahan di Papua.
"Tetap harus ada di situ, tinggal bagaimana berkoordinasinya," ujar dia.
Dia justru mempertanyakan bagaimana mungkin sebuah negara menarik personel TNI-Polri dari salah satu wilayah kedaulatannya sendiri.
"Bagaimana sebuah negara menarik TNI dan Polri dari situ? Hancur. Ditarik sehari saja sudah hancur. Ya harus hadir di situ," tegas dia.
"Tinggal bagaimana itu lebih manusiawi, lebih kependekatan kesejahteraan," kata dia.
Mahfud juga mengatakan, sebetulnya kekuatan TNI maupun Polri dapat dengan mudah memenangi perlawanan guna mengakhiri aksi KKB Papua.
Mengingat, perbandingan jumlah aparat keamanan dengan anggota kelompok separatisme sangat tak sepadan.
Mahfud memprediksi, apabila TNI-Polri melayani perlawanan separatisme, maka kemenangan bagi TNI dan Polri dapat diraih dengan mudah dan cepat.
Namun demikian, pemerintah tetap tak ingin menempuh jalur militeristis untuk mengamankan situasi.
"Kita tidak melakukan pendekatan seperti itu, tidak memilih yang gampang seperti itu, karena yang gampang seperti itu kalau dari sudut ilmu gerilya itu tidak menyelesaikan masalah," kata dia.
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul: "Baku Tembak TNI-Polri vs KKB Papua Disebut Melanggar HAM, Dewan Adat John Gobay Minta Aparat Ditarik."
(*)