Gridhot.ID - Kabar baru di dunia pemerintahan Indonesia.
Badan Intelijen Negara atau BIN kini resmi berada di bawah Presiden.
Aturan mainnya tertuang di Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2020 tentang Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
Beleid tersebut menggantikan Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2015. Dalam aturan terbaru, BIN dicoret dari tugas koordinasi Kemenko Polhukam.
Itu sesuai dengan profil BIN: hanya melayani single client, yaitu Presiden. "BIN Langsung berada di bawah Presiden karena produk intelijen langsung dibutuhkan oleh Presiden," kata Menkopolhukam Mahfud MD dalam akun Twitter resminya, Sabtu (18/7).
Pasal 10 Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara menyebutkan, BIN merupakan alat negara yang menyelenggarakan fungsi intelijen dalam dan luar negeri.
Masih menurut UU No. 17/2011, intelijen negara berperan melakukan upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk deteksi dini juga peringatan dini. Ini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan terhadap setiap hakikat ancaman yang mungkin timbul dan mengancam kepentingan serta keamanan nasional.
Melansir laman resmi BIN, Badan Intelijen Negara yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden berkedudukan sebagai koordinator penyelenggara intelijen negara.
Penyelenggara intelijen negara lainnya, yaitu intelijen TNI, intelijen Kepolisian, intelijen Kejaksaan, dan intelijen kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian, wajib berkoordinasi dengan BIN.
Sejarah BIN
Mengutip situs resmi BIN, pasca Proklamasi, masih pada Agustus 1945, pemerintah mendirikan badan intelijen untuk pertama kalinya bernama Badan Istimewa. Kolonel Zulkifli Lubis ditunjuk memimpin lembaga tersebut bersama sekitar 40 mantan tentara Pembela Tanah Air (Peta) yang menjadi penyelidik militer khusus.
Berganti enam kali
Zulkifli merupakan lulusan sekaligus komandan intelijen pertama. Personel-personel intelijen di Badan Istimewa adalah lulusan Sekolah Intelijen Militer Nakano yang didirikan pendudukan Jepang pada 1943.
Setelah Badan Istimewa, pemerintah membentuk organisasi intelijen negara dengan cakupan lebih luas. Sejak 1945 sampai sekarang, organisasi intelijen negara pun telah berganti nama sebanyak enam kali:
1. BRANI (Badan Rahasia Negara Indonesia)
Pada awal Mei 1946, dilakukan pelatihan khusus di daerah Ambarawa, Jawa Tengah. Sekitar 30 pemuda lulusannya menjadi anggota Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI).
Lembaga ini menjadi "payung" gerakan intelijen dengan beberapa unit ad hoc, bahkan operasi luar negeri. Kemudian pada Juli 1946, Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin membentuk "Badan Pertahanan B" yang dikepalai seorang mantan komisioner polisi.
Lalu, April 1947, dilakukan penyatuan seluruh badan intelijen di bawah menteri pertahanan (menhan). BRANI menjadi Bagian V dari Badan Pertahanan B.
Pada awal 1952, Kepala Staf Angkatan Perang T.B. Simatupang juga menurunkan lembaga Intelijen menjadi Badan Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP).
Di tahun yang sama, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menhan Sri Sultan Hamengku Buwono IX menerima tawaran Central Intelligence Agency Amerika Serikat (CIA) untuk melatih calon-calon intel profesional Indonesia di Pulau Saipan, Filipina.
2. BKI (Badan Koordinasi Intelijen)
Sepanjang 1952-1958, seluruh Angkatan TNI dan Kepolisian memiliki badan intelijen sendiri-sendiri tanpa koordinasi nasional yang solid. Maka pada 5 Desember 1958, Presiden Soekarno membentuk Badan Koordinasi Intelijen (BKI) yang dipimpin oleh Kolonel Laut Pirngadi sebagai kepala BKI.
3. BPI (Badan Pusat Intelijen)
Selanjutnya, 10 November 1959, BKI menjadi Badan Pusat Intelijen (BPI) yang bermarkas di Jalan Madiun, yang dikepalai oleh DR Soebandrio.
Di era 1960-an hingga akhir masa Orde Lama, pengaruh Soebandrio pada BPI sangat kuat diikuti perang ideologi komunis dan non-komunis di tubuh militer, termasuk intelijen.
Setelah gonjang-ganjing 1965, Soeharto mengepalai Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB). Selanjutnya, di seluruh daerah (Komando Daerah Militer/Kodam) dibentuk Satuan Tugas Intelijen (STI).
4. KIN (Komando Intelijen Negara)
Pada 22 Agustus 1966, Soeharto mendirikan Komando Intelijen Negara (KIN) yang dipimpin oleh Brigjen Yoga Sugomo sebagai kepala KIN, yang bertanggungjawab langsung kepada Soeharto.
Sebagai lembaga Intelijen strategis, maka BPI dilebur ke dalam KIN yang juga memiliki Operasi Khusus (Opsu) di bawah Letkol Ali Moertopo dengan asisten Leonardus Benyamin (Benny) Moerdani dan Aloysius Sugiyanto.
5. BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara)
Kurang dari setahun, 22 Mei 1967, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk mendesain KIN menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN). Mayjen Soedirgo menjadi Kepala BAKIN pertama.
Pada masa Mayjen Sutopo Juwono, BAKIN memiliki Deputi II di bawah Kolonel Nicklany Soedardjo, Perwira Polisi Militer (POM) lulusan Fort Gordon, AS. Mulai 1970 terjadi reorganisasi BAKIN dengan tambahan Deputi III pos Opsus di bawah Brigjen Ali Moertopo.
Berada di sekeliling Soeharto, Opsus dipandang paling prestisius di BAKIN, mulai dari urusan domestik Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat dan kelahiran mesin politik Golongan Karya (Golkar), sampai masalah Indo-China.
Pada 1983, sebagai Wakil Kepala BAKIN, L.B. Moerdani memperluas kegiatan Intelijen menjadi Badan Intelijen Strategis (BAIS). Selanjutnya BAKIN tinggal menjadi sebuah direktorat kontra-subversi dari Orde Baru.
Setelah mencopot L.B. Moerdani sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam), tahun 1993 Soeharto mengurangi mandat BAIS dan mengganti namanya menjadi Badan Intelijen ABRI (BIA).
6. BIN (Badan Intelijen Negara)
Pada 2000 Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengubah BAKIN menjadi Badan Intelijen Negara (BIN) sampai sekarang.
Artikel ini telah tayang di Kontan dengan judul Kini di bawah Presiden, ini tugas BIN dan sejarahnya.
(*)