Ia berargumen bahwa demokrasi adalah hal yang patut dijunjung kembali dan menjadi dasar persekutuan mereka dengan negara lain serta menjadi sumber ekonomi AS.
Karena ia jelas-jelas menjunjung demokrasi, maka ketika ia ditanyai terkait kebijakannya mengenai Korea Utara, ia menolak pendekatan diplomasi secara langsung seperti yang dilakukan Trump.
Ia menolak keterlibatan foto dan pengakuan dari mitranya.
Sehingga, mengikuti prinsip demokrasi yang diagung-agungkannya, tugas pertamanya dalam menghadapi Korea Utara adalah akan menjadikan hal tersebut sebagai urusan sekunder atau tersier.
Ia justru akan membangun kembali kepercayaan dengan sekutu AS dan melakukan pendekatan konvensional.
Tujuannya adalah mengamankan sekutu dan rekan-rekan AS, bukan mempertahankan hubungan dengan rezim kasar seperti Kim Jong-Un.
Sehingga, ia akan membangun landasan sekutu lagi, lalu berhubungan dengan Korea Utara saat kerja sama dengan sekutu mereka sudah dimungkinkan.
Pertanyaannya sekarang adalah jika memang ia akan terpilih menjadi presiden AS, bisakah ia hidup sesuai janji dan nilai-nilai yang ia junjung tinggi tersebut.
Lebih-lebih lagi, meski ia bisa memenangkan popularitas masyarakat AS, bisakah ia membuat senang sekutu AS yang sudah tidak percaya dengan AS? Dan seperti apa kemungkinan serangan pertama Kim Jong-Un terhadap politik AS yang kemungkinan akan berubah?
Jawabannya hanya akan kita ketahui setelah pemilihan presiden AS terlaksanakan dan AS memiliki presiden selanjutnya entah itu Trump lagi atau kembali ke Demokrat di bawah Joe Biden, meskipun jika akhirnya terpilih, kemungkinan bisa menciptakan kondisi damai sulit terlihat setelah sejarahnya di Perang Vietnam.
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul Analis: Jika Joe Biden Jadi Presiden AS Selanjutnya, Kim Jong-Un Malah Bisa Riang Gembira dan Akan Keluarkan 'Senjata Rahasia' untuk Tes Awal Presiden Baru, Seperti Apa?
(*)
Source | : | intisari |
Penulis | : | None |
Editor | : | Angriawan Cahyo Pawenang |
Komentar