Sebagai tokoh intelijen yang dikenal agresif, meskipun belum ada kepastian kapan operasi militer terbuka oleh ABRI dilaksanakan, Mayjen Benny diam-diam telah menyusupkan personel intelijennya.
Para personel intelijen yang akan bertugas secara sangat rahasia itu dipimpin oleh Kolonel Inf Dading Kalbuadi yang juga komandan pasukan elite, Grup-2 Para Komando (Parako) atau Komando Pasukan Sandi Yuda (Kopassanda).
Pasukan elit itu sekarang dikenal sebagai Kopassus dan Kopassanda sendiri saat itu bermarkas di Magelang, Jawa Tengah.
Tugas utama Kolonel Dading bersama anak buahnya adalah memasuki wilayah Tim-Tim sebagai sukarelawan dan tanpa menunjukkan identitas sebagai pasukan elit.
Jika dalam tugas-tugasnya sebagai personel intelijen sampai menimbulkan bentrokan senjata dan gugur, maka negara tidak akan mengakuinya mengingat status mereka adalah sukarelawan.
Sekitar 250 personel Parako yang bertugas sebagai intelijen kemudian dikirim perbatasan NTT-Tim-Tim dan dalam penugasannya mereka selalu menyamar.
Ketika dikirim ke Atambua, NTT lalu ke Motaain, personel Parako menyamar sebagai mahasiswa yang akan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Sedangkan senjata yang dibawa dimasukkan ke dalam karung yang telah dibubuhi tulisan berbunyi 'alat-alat pertanian'.
Tugas utama para personel Parako adalah menyusup ke Tim-Tim dalam bentuk kelompok kecil untuk membentuk basis-basis gerilya dan melakukan penyerangan.
Sebagai sukarelawan dan tidak bersetatus anggota militer dalam melaksanakan operasi intelijennya secara terbatas (limited combat intelligence) para personel Parako kebanyakan memakai celana jean dan kaos oblong serta jarang menenteng senjata.