Kemudian dikatakan dalam artikel tersebut jika pasukan tentara China seharusnya meningkatkan kesadaran mereka atas ancaman dari drone dan tentara China harus sudah memasukkan kesiapan itu dalam latihan perang mereka.
"Bagi sebagian unit akar-rumput di militer China, upaya menaklukkan drone adalah pelajaran baru," seperti dituliskan dalam artikel tersebut, serta ditambahi jika unit militer perlu meraih pemahaman lebih mengenai karakteristik berbagai drone.
Mulai dari drone penyerang sampai drone siluman, semua harus dipelajari, dan dikembangkan strategi untuk melawannya.
Disarankan juga bagi tentara China untuk membangun jaringan pendeteksi multilapisan dengan radar anti-drone, radar pembuta, stasiun deteksi radio dan perlengkapan infra merah lainnya.
Gunanya adalah untuk 'terus-terusan memonitor masuknya drone di berbagai tempat dalam jangkauan yang luas".
Disarankan juga selain cara deteksi, bisa menggunakan taktik seperti mengirim gangguan elektronik dengan senjata pertahanan darat anti-pesawat LD2000 serta menyebar obyek palsu untuk mengaburkan fokus drone tersebut.
China sendiri merupakan pengguna aktif drone dalam dunia militer dan terus mengembangkan senjata itu dengan variasi baru serta kemampuan yang terus dikembangkan meliputi 'kemampuan siluman', kecepatan, manuver ketinggian, enduransi serta otomatisasi.
Dikabarkan China sudah mengembangkan 'drone bunuh diri' harga murah yang dapat dikirim dari kendaraan taktis yang ringan atau dari helikopter untuk menyerang target.
Namun, pakar militer mengatakan kekalahan Armenia di Nagorno-Karabakh tidak hanya disebabkan keunggulan drone saja.
Michael Raska, asisten profesor di S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura, mengatakan walaupun penggunaan drone di medan perang dimulai saat drone AS menyerang Irak dan Afghanistan, pemimpin politik dan militer Armenia telah gagal bereaksi dengan keunggulan teknologi itu.