Sekolah itu didirikan van Eechoud pada 1944, termasuk juga sekolah polisi.
Atas jasanya mendidik orang Papua, van Eechoud dijuluki Bapak Orang Papua.
Melalui sekolah itulah kelas elite terdidik Papua lahir dan mewarnai pergerakan politik, baik yang pro-kemerdekaan maupun yang pro-Indonesia.
Selain Nicolaas, ada nama Frans Kasiepo, Markus Kasiepo, Silas Papare, Elieser Jan Bonay, Lukas Roemkorem, hingga Abdullah Arfan.
Semuanya alumni sekolah yang didirkan van Eechoud.
Dijelaskan Jon RG Djopari dalam bukunya, 'Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka', elite terdidik Papua kemudian pecah menjadi tiga orientasi politik. Pertama, pro-Papua merdeka pro-Belanda.
Kedua, pro-Papua merdeka anti-Belanda. Ketiga, pro-Indonesia.
Nicolaas Jouwe digolongkan sebagai pro-Papua merdeka yang kooperatif dengan Belanda.
Sebenarnya, Nicolaas Jouwe sempat ikut dalam Komite Indonesia Merdeka (KIM) bentukan Dr JA Gerungan di Hollandia (saat ini Jayapura) pada 1945.
Namun ada kekecewaan saat KIM berubah menjadi Partai Indonesia Merdeka (PIM), apalagi saat konferensi Denpasar pada 1946 tak menyertakan wakil dari Papua.