Gridhot.ID - KKB Papua kini dipimpin oleh Benny Wenda.
Dikutip Gridhot dari Tribun Palu, Benny Wenda melakukan perjuangan dengan caranya sendiri yaitu dengan mencari rekan sekutu di luar negeri.
Melalui diplomasi, Benny Wenda menggaungkan OPM di hadapan para pejabat internasional agar bisa mendapat dukungan terkait kemerdekaan Papua.
Sementara itu beberapa Panglimanya seperti Lekagak Telenggen hingga Egianus Kogoya berjuang sendiri di tanah Papua dengan cara menebar teror.
Selain menembak dan menyerang aparat TNI Polri, KKB Papua tak segan untuk menyakiti warga mereka sendiri.
Perjuangan mereka berbeda dengan cara sang bos, Nicolaas Jouwe yang sudah berpuluh-puluh tahun mencari arti kemerdekaan hingga akhirnya mengakui Papua adalah Indonesia.
Dikutip Gridhot dari Surya, Nicolaas Jouwe merupakan sosok legendaris Organisasi Papua Merdeka atau OPM.
Sebagai pendiri OPM, Nicolaas Jouwe begitu getol memperjuangkan hak-hak masyarakat Papua.
Nicolaas Jouwe kembali ke Indonesia pada 2009 silam dan akhirnya menetap di Indonesia.
Pendiri OPM tersebut bahkan bertekad untuk membaktikan sisa hidupnya untuk kemajuan tanah kelahirannya di Papua.
Delapan tahun berada di Indonesia, Nicolaas Jouwe akhirnya meninggal dunia di Jakarta pada 16 September 2017.
Nicolaas Jouwe adalah pendiri OPM yang memilih kembali ke pangkuan NKRI dan meninggal dalam kondisi sudah menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).
Dia juga mendapatkan penghargaan dari Presiden SBY berupa Bintang Jasa Nararya.
Berkalung bunga, bertopi fedora,Nicolaas Jouwe berdiri di Bandara Sentani, Papua.
Tongkat penopang dia lepaskan dari tangan, badannya membungkuk dan akhirnya tengkurap.
Dia mencium tanah Papua, melunasi rindu yang menggebu.
Sosok paling penting di balik bendera kontroversial dari Bumi Cenderawasih, yakni Bendera Bintang Kejora, atau sering juga disebut sebagai Bendera Bintang Fajar (Morning Star Flag).
"Saya lah yang membuat Bendera Bintang Kejora yang pertama kali dikibarkan pada 1 Desember 1961," kata Nicolaas dalam bukunya, 'Kembali ke Indonesia: Langkah, Pemikiran, dan Keinginan'.
Nicolaas lahir di Hollandia (saat ini Jayapura) pada 24 November 1924.
Garis tangan, begitulah istilah yang dia gunakan, membawanya menjadi tentara meski tak pernah ingin jadi tentara.
Garis tangan pula yang membawanya menjadi salah satu tokoh Papua di masa silam meski dia mengaku tak menginginkan sebutan itu.
Nicolaas adalah satu dari alumni sekolah pamong praja di Jayapura yang didirikan Residen Belanda, Jan Pieter Karel van Eechoud.
Sekolah itu didirikan van Eechoud pada 1944, termasuk juga sekolah polisi.
Atas jasanya mendidik orang Papua, van Eechoud dijuluki Bapak Orang Papua.
Melalui sekolah itulah kelas elite terdidik Papua lahir dan mewarnai pergerakan politik, baik yang pro-kemerdekaan maupun yang pro-Indonesia.
Selain Nicolaas, ada nama Frans Kasiepo, Markus Kasiepo, Silas Papare, Elieser Jan Bonay, Lukas Roemkorem, hingga Abdullah Arfan.
Semuanya alumni sekolah yang didirkan van Eechoud.
Dijelaskan Jon RG Djopari dalam bukunya, 'Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka', elite terdidik Papua kemudian pecah menjadi tiga orientasi politik. Pertama, pro-Papua merdeka pro-Belanda.
Kedua, pro-Papua merdeka anti-Belanda. Ketiga, pro-Indonesia.
Nicolaas Jouwe digolongkan sebagai pro-Papua merdeka yang kooperatif dengan Belanda.
Sebenarnya, Nicolaas Jouwe sempat ikut dalam Komite Indonesia Merdeka (KIM) bentukan Dr JA Gerungan di Hollandia (saat ini Jayapura) pada 1945.
Namun ada kekecewaan saat KIM berubah menjadi Partai Indonesia Merdeka (PIM), apalagi saat konferensi Denpasar pada 1946 tak menyertakan wakil dari Papua.
Konferensi itu sendiri menghasilkan Negara Indonesia Timur, pihak Indonesia menyebut itu adalah karya politik divide et impera Belanda.
Belakangan, Jouwe berubah menjadi seorang pemimpin Papua yang anti-Indonesia.
Jouwe ikut dalam aktivitas Gerakan Persatuan Nieuw Guinea yang dibentuk Belanda untuk menentang pengaruh Indonesia.
Mulai dari sini, nasionalisme Papua dibentuk.
Pada masa pemerintah Belanda, kawasan yang kini disebut sebagai Papua bagian Indonesia bernama Nederland Nieuw Guinea (Nugini Belanda).
Nicolaas terpilih menjadi wakil presiden Dewan Nugini (Nieuw Guinea Raad), mendampingi presiden bernama Frits Sollewijn Gelpke, seorang pegawai negeri Belanda.
Saat itu Nicolaas berjuang agar semua pihak menghormati hak-hak orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa merdeka.
Bendera Bintang Kejora dibikinnya, bercorak 13 garis biru dan putih horisontal, angka itu melambangkan jumlah rencana kawasan yang akan dikembangkan. Adapun gambar bintang adalah simbol cita-cita.
Nicolaas lewat buku karya Danilyn Rutheford menyatakan bintang itu bermakna pengharapan, salah satu elemen dalam kebajikan Kristiani yakni iman, kasih, dan pengharapan.
Ada pula yang menafsirkan bintang kejora dengan mitos Manarmakeri dari Biak.
Manarmakeri dikisahkan menderita penyakit kudis yang membuat dia dikucilkan dari kampungya.
Manarmakeri bertemu dengan Sampari (bintang pagi/bintang kejora) yang penuh kesaktian.
Mitos soal Manarmakeri ini juga berhubungan dengan Koreri, keadaan hidup sejahtera dan abadi.
Suatu saat Manarmakeri akan kembali ke kampungnya membawa Koreri.
Koreri sendiri menjadi gerakan mesianisme. Hal ini dijelaskan dalam catatan kaki 'Papua Road Map' karya Muridan dan kawan-kawan.
Setelah Bintang Kejora karya Nicolaas terpilih menjadi bendera Papua Barat, maka pada 1 Desember 1961, bendera itu dikibarkan di samping Bendera Belanda untuk pertama kalinya.
Kelak, tanggal itu akan diperingati sebagai berdirinya Negara Papua Barat yang diakui otoritas Belanda.
Proses politik berlanjut melewati Perjanjian New York. Papua akan diserahkan Belanda ke Indonesia melalui lembaga PBB bernama UNTEA.
Setelah Papua diserahkan ke UNTEA pada Oktober 1962 dan enam bulan kemudian diserahkan ke Indonesia, Jouwe meninggalkan Papua dan pergi ke Belanda.
Dia menetap di kota Delft, bersumpah tak akan pernah kembali ke tanah kelahirannya jika masih diduduki oleh Indonesia.
Adapun gerakan melawan Indonesia di Papua terus berlanjut saat Nicolaas tinggal di Belanda.
Nama Nicolaas diusulkan oleh 'Organisasi Perjuangan Menuju Kemerdekaan Negara Papua Barat', cikal bakal OPM, sebagai wakil presiden yang mendampingi presiden Markus Kaisiepo.
Nicolaas yang berada di Belanda yang semula ragu kemudian berhasil diyakinkan soal perjuangan di Papua Barat (kawasan yang sekarang disebut sebagai Provinsi Papua dan Papua Barat, Indonesia).
Hingga 2008, Jouwe masih menegaskan sikap untuk tak kembali ke Papua yang menjadi wilayah Indonesia.
Hingga menginjak 2009, ada surat dari Indonesia yang sampai ke Den Haag.
Surat itu berasal dari Presiden ke-7 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) khusus untuk Nicolaas.
Sebagaimana diceritakan Nicolaas dalam bukunya, surat itu dibawa oleh delegasi Fabiola Ohee, Ondofolo (Kepala Adat) Frans Albert Yoku, Nicolas Simeon Meset, pilot putra Papua lulusan ITB, dan Pendeta Adolf Hanasbey.
Semua orang itu mendatangi Nicolaas khusus untuk mengantarkan surat dari SBY. Isi surat itu adalah ajakan SBY kepada Nicolaas untuk pulang ke Tanah Air.
"Saya menilai surati ini ditulis halus sekali, sebuah undangan yang bagus, dan saya merasakan bahwa surat ini ditulis dengan hati dan tulus.
Surat ini ditulis bukan dengan otak tapi dengan hati. Tuhan Yesus bersabda: Percayalah dengan hati, jangan dengan otak," kata Nicolaas.
Dia tersentuh oleh surat itu dan segera ingat ayat Injil, bahwa yang lembut hatinya akan mewarisi bumi.
Nicolaas kemudian melangkah menemui Duta Besar RI di Belanda saat itu, Fanie Habibie dan segera akrab sambil bertukar pantun dalam Bahasa Ambon.
Segera terbayang masa lalu perjuangannya memerdekakan Papua dari Indonesia.
Kali ini bayangan itu tak disertai heroisme.
"Saya telah menyadari bahwa yang diperjuangkan selama ini merupakan pilihan yang salah. Kini saya melihat bahwa perhatian pemerintah Indonesia dan kondisi politik sudah berbeda terhadap Papua," kata dia.
"Saya akan kembali selama-lamanya di Papua, Indonesia. Sekali Indonesia merdeka, tetap merdeka," kata salah satu tokoh utama dalam sejarah OPM ini.
Nicolaas akhirnya berangkat ke Jakarta dan melanjutkan terbang ke Papua di usianya yang ke-85 tahun.
"Saya mesti pulang, pulang dengan hati gembira." ujarnya.
(*)