Gridhot.ID - Banyak orang mengatakan gaji suami juga menjadi hak istri karena ada nafkah di dalamnya.
Namun bagaimana jika gaji istri? apakah gaji istri menjadi hak untuk suami?
Ustaz Abdul Somad pun berusaha untuk membongkar permasalahan ini.
Permasalahan uang di dalam rumah tangga seakan tak ada habisnya, mengenai pendapatam istri hingga suami.
Terlebih semuai merupakan kepada rumah tangga dan pencari nafkah, pendapatan pun diserahkan kepada sang istri.
Namun dari pendapatan istri adakah hak untuk suami?
Dikutip Gridhot dari Bangka Pos, Ustaz Abdul Somad menjelaskan mengenai hal tersebut.
Menurutnya tak ada hak suami di dalam gaji istri, namun di dalam gaji suami ada hal istri.
"Ibu bekerja sebulan dapat gaji taroklah (misalnya) 5 juta, bapak juga bekerja sebulan dapat gaji 5 juta, apakah beda gaji bapak sama gaji ibu?.
"Dalam gaji bapak ada hak ibu tapi dalam gaji ibu tak ada hak bapak, saya ulang sekali lagi Dalam gaji bapak ada hak ibu, apa hak ibu itu? Nafkah.
Tapi dalam gaji ibu tak ada hak bapak," paparnya.
Dikutip Gridhot dari NU Online, permasalahn terkait gaji istri untuk suami ini perlu ditarik mundur lagi tentang sejarah bagaimana hak perempuan akhirnya dibebaskan berkat Islam.
Pada saat Islam datang, peradaban manusia terkait kedudukan perempuan terbilang masih rendah. Perempuan selamanya berada dalam “perbudakan.”
Selagi kecil, ia berada di bawah belenggu ayahnya. Setelah menikah, belenggu perempuan berpindah tangan kepada suaminya.
Sebagai entitas di bawah kuasa orang lain, perempuan saat itu tidak memiliki hak atas harta, bahkan atas hidupnya sendiri.
Tidak heran kalau Surat At-Takwir ayat 8 dan ayat 9 menyinggung anak perempuan yang dikubur hidup-hidup.
Al-Qur’an mempertanyakan dosa apa yang dilakukan anak perempuan sehingga layak dibunuh hidup-hidup.
Adapun Surat At-Takwir ayat 8 dan ayat 9 berbunyi sebagai berikut:
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَت بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَت
Artinya, “Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.”
Oleh karena itu, Islam kemudian datang untuk membebaskan perempuan dari belenggu perbudakan yang menjadi sistem sosial saat itu.
Islam mengembalikan atau memulihkan kepribadian perempuan yang disia-siakan.
Islam memberikan hak kepada perempuan secara sempurna dalam relasinya dengan masyarakat dan keluarga.
Hal ini disebutkan oleh Imam M Abu Zahrah dalam Ushulul Fiqih-nya ketika membahas sisi kemukjizatan Al-Qur’an.
وأعطى الإسلام المرأة حقوقها كاملة وجعل ماليتها في الأسرة مفصولة عن مالية الزوج
Artinya, “Islam memberikan hak-hak perempuan secara sempurna. Islam menjadikan harta perempuan otonom secara kepemilikan dari harta suami dalam struktur keluarga,” (Imam M Abu Zahrah, Ushulul Fiqh, [Beirut, Darul Fikr Arabi: 2012 M/1433 H], halaman 85).
Dari semangat Al-Qur’an dalam pemulihan hak-hak perempuan ini, ulama fiqih kemudian memberikan garis yang jelas terkait hak kepemilikan bagi perempuan dalam hal ini sebagai istri.
Ulama mengatakan bahwa seorang perempuan berhak atas mahar dan nafkah; dan berhak diperlakukan secara manusiawi.
للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل
Artinya, “Istri memiliki hak atas materi berupa mahar dan nafkah; dan hak nonmateri berupa perlakuan yang baik, interaksi yang menyenangkan, dan keadilan.” (Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VII, halaman 327).
Dengan demikian, perempuan memiliki kedaulatan atas kepemilikan harta.
Kedaulatan perempuan atas kepemilikan harta ini tertuang jelas dalam perintah Al-Qur'an pada Surat An-Nisa’ ayat 4 perihal kewajiban pemberian mahar oleh seorang suami kepada istrinya.
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Surat An-Nisa’ ayat 4).
Dari sini kemudian dapat disimpulkan bahwa Islam memberikan garis yang jelas terkait hak laki-laki dan hak perempuan.
Perempuan dalam hal ini istri memiliki hak atas harta, yaitu mahar dan nafkah.
Sedangkan laki-laki dalam hal ini suami juga memiliki hak atas harta.
Lalu bagaimana dengan pernyataan “uang suami milik istri dan uang istri milik istri?”
Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah.
Kalimat tersebut mengandung dua pernyataan yang perlu diuji satu per satu.
Pertama, pernyataan, “uang suami (adalah) milik istri.”
Uang suami mungkin saja milik istri dan mungkin juga bukan milik istri.
Uang suami yang menjadi milik istri adalah hak nafkah yang seharusnya diterima oleh istri.
Tetapi uang suami mungkin juga bukan milik istri, yaitu uang suami di luar keperluan nafkah istri (dan anak).
Dengan demikian, kalau dikatakan bahwa (semua) uang suami adalah milik istri justru merampas hak suami atas kepemilikan uangnya.
Adapun pernyataan kedua, “uang istri milik istri,” adalah benar adanya sebagaimana dijamin oleh Islam terkait hak perempuan atas kepemilikan harta.
Penjelasan ini tampak sangat teknis dan domestik sekali.
Tetapi hak-hak suami dan istri ini perlu dibicarakan sehingga jelas kedudukan masing-masing pihak atas kepemilikannya.
Namun demikian pada praktiknya secara umum, suami dan istri mengelola (memberikan pertimbangan setidaknya) secara bersama uang yang mereka miliki dan satu sama lain dapat saling membantu dalam mengatasi keuangan satu sama lain seperti dinyatakan dalam Surat An-Nisa’ ayat 4.
(*)