Pertama, kata Reza, yaitu atribusi eksternal yang berarti pertanggungjawaban yang harusnya ditanggung oleh Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi justru dilimpahkan ke orang lain.
Strategi ini, kata Reza, tampak saat tim kuasa hukum Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi menganggap terdakwa lain yaitu Bharada E melakukan kesalahan seperti tidak memahami perintah hingga tidak konsisten dalam memberikan keterangan.
"(Atribusi eksternal) dari satu sesi ke sesi persidangan berikutnya, semakin mengkristal. Atribusi eksternal itu diarahkan ke Richard Eliezer (Bharada E)."
"(Contohnya) Richard salah tafsir, Richard overdosis dalam memahami perintah, Richard memiliki inisiatif kebablasan dan seterusnya," jelas Reza.
Strategi kedua adalah ironi viktiminisasi yang berarti mengubah pelabelan Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi di mata masyarakat dan hakim bahwa mereka bukanlah pelaku tetapi korban dalam kasus ini.
"Sehingga dia (Ferdy Sambo -red) katakan, 'Yang Mulia, andaikan saya ini dianggap bersalah karena melakukan pembunuhan berencana tapi pembunuhan berencana ini terjadi karena ada peristiwa pendahuluan (dugaan pelecehan seksual oleh Brigadir J di Magelang ke Putri)," jelasnya.
Reza mengatakan dua strategi yang dirinya maksud terus dilakukan oleh Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi selama persidangan.
Sebelumnya, jika mengartikan definisi atribusi eksternal menurut Reza tampak dalam insiden saat Bharada E terlibat saling bentak dengan kuasa hukum Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, Arman Hanis.
Pada insiden tersebut, Arman Hanis menyatakan keterangan Bharada E tidak konsisten karena Berita Acara Pemeriksaan (BAP) milik mantan sopir Ferdy Sambo itu berbeda-beda yaitu pada 5 Agustus, 18 Agustus, dan 7 September 2022.
Padahal, Bharada E sudah menegaskan BAP sebelum 7 September 2022 miliknya merupakan doktrin dari Ferdy Sambo soal skenario tembak-menembak.
Selain itu, hal lain yang disebut Reza sebagai atribusi eksternal adalah ketika beda keterangan terkait perintah antara keterangan Ferdy Sambo dan Bharada E.