Baca Juga: Majikan Meninggal, Pembantu Langsung Berusaha Kuasai Rumah, Ahli Waris: Mereka Pernah Niat Meracun!
Selayaknya seorang penari, sang kuda dihias dengan berbagai aksesoris.
Demikian pula gadis penunggangnya yang disebut dengan Pesaweang, berhias dengan pakaian adat khas mandar yaitu Baju Pokko dan dinaungi dengan payung kehormatan.
Pembawa payung disebut dengan Palla’lang.
Untuk penamatan Qur’an, dalam bahasa setempat disebut mappatamma Qur’an, anak yang diupacarakan akan berada di belakang penunggang atau Pesaweang dengan memakai pakaian haji, atau pakaian khas yang dikenakan seseorang yang telah bergelar haji.
Untuk laki-laki memakai sorban dan perempuan mengenakan selendang penutup kepala.
Saat tetabuhan rebana mulai berbunyi sang kuda akan mengehentak-hentakkan kaki dan mengangguk-anggukkan kepala, dan sesekali mengangkat setengah badannya di udara.
Suara gemerincing dari hiasan kuda berpadu dengan hentakan kaki kuda dan tabuhan rebana, semakin menambah semangat sang kuda dan penonton yang menyaksikan.
Untuk menjaga kestabilan gerakan kuda, seorang laki-laki bertugas sebagai penuntun kuda sekaligus memberi instruksi kepada kuda, dan disebut Sawi.
Empat orang sebagai pendamping yang disebut Passarung, masing-masing dua orang di samping kanan dan kiri kuda bertugas menjaga kestabilan gadis penunggang.
Pengiring musik yaitu kelompok rebana disebut Parrawana, berada di bagian depan bersama seorang Pangkalindaqdaq atau pelantun syair Mandar.
Sesekali suara tabuhan akan diselingi dengan syair-syair yang dilantunkan Pangkalindaqdaq yang berisikan nasehat-nasehat agama, pendidikan dan pantun pergaulan muda-mudi.