Gridhot.ID - Kasus penganiayaan yang menyebabkan seorang taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta meninggal kini masih terus dalam pendalaman pihak kepolisian.
Dikutip Gridhot dari Warta Kota, tersangka pemukulan taruna STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran) hingga tewas bertambah lagi menjadi 4 orang.
Keempatnya merupakan taruna STIP tingkat 2 senior dari korban Putu Satria Ananta Rustika (19).
Adapun keempat tersangka masing-masing ialah Tegar Rafi Sanjaya (21), KAK alias K, WJP alias W, dan FA alias A.
Tegar dijerat pasal 338 KUHP tentang pembunuhan juncto pasal 351 KUHP tentang penganiayaan berat, sementara ketiga rekan seangkatannya dijerat pasal 55 juncto 56 KUHP karena keikutsertaan melakukan tindak pidana.
"Ancaman hukumannya sama konstruksi pasal kemarin ya. Hanya mungkin perbedaan di pembelaan atau mungkin ada pemberatan atau pengurangan tambahan karena pasal 55," kata Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Pol Gidion Arif Setyawan di Mapolres Metro Jakarta Utara, Rabu (8/5/2024) malam.
"(Ancaman hukuman terhadap tiga tersangka baru) masih 15 tahun," sambung Gidion.
Tegar menjadi tersangka utama dalam kasus ini, yang melakukan pemukulan dan memasukkan tangannya ke mulut Putu hingga korban meregang nyawa.
Kemudian, tersangka FA alias A adalah taruna tingkat 2 yang memanggil korban Putu bersama rekan-rekannya dari lantai 3 untuk turun ke lantai 2.
FA memanggil korban dan empat rekannya dari lantai 3 ke lantai 2, karena menganggap kelima juniornya itu melakukan kesalahan yakni memakai baju olahraga ke ruang kelas.
"Ini yang diidentifikasi menurut persepsi senior tadi salah atau menggunakan pakaian olahraga memasuki ruang kelas dengan mengatakan "Woi, tingkat satu yang pakai PDO (pakaian dinas olahraga), sini!"," kata Gidion.
"Jadi turun dari lantai 3 ke lantai 2. Lalu FA juga berperan menjadi pengawas ketika kekerasan eksesif terjadi di depan pintu toilet dan ini dibuktikan dari CCTV kemudian keterangan para saksi," sambung Kapolres.
Selanjutnya, tersangka WJP berperan memprovokasi tersangka Tegar untuk melakukan pemukulan terhadap korban Putu.
WJP juga meminta Putu untuk tidak mempermalukan dirinya dan harus kuat menerima pukulan.
"Saudara W mengatakan "Jangan malu-maluin CBDM, kasih paham". Ini bahasa mereka, maka itu kami menggunakan atau melakukan pemeriksaan terhadap ahli bahasa, karena memang ada bahasa-bahasa pakemnya mereka yang kemudian mempunyai makna tersendiri," papar Gidion.
Yang terakhir, tersangka KAK merupakan taruna tingkat 2 yang menunjuk Putu untuk dijadikan korban pemukulan pertama, sebelum berlanjut ke empat taruna tingkat 1 lainnya.
"Peran KAK adalah menunjuk korban sebelum dilakukan kekerasan eksesif oleh tersangka TRS, dengan mengatakan "adikku aja nih, mayoret terpercaya"," kata Gidion.
"Ini juga kalimat-kalimat yang hanya hidup di lingkungan mereka, mempunyai makna tersendiri di antara mereka," jelas Kapolres.
Adapun penetapan tersangka terhadap ketiga senior korban itu dilakukan setelah polisi mengumpulkan barang bukti antara lain rekaman CCTV hingga hasil visum korban.
Polisi juga telah memeriksa sebanyak 43 orang saksi dalam proses penetapan ketiga tersangka baru tersebut.
"Jadi total saksi yang sudah kita lakukan pemeriksaan ada 43, taruna tingkat 1 dan tingkat II serta tingkat 4 sebanyak 36 orang, pengasuh STIP, kemudian dokter klinik STIP, dokter rumah sakit Tarumajaya, ahli pidana, dan ahli bahasa," jelas Gidion.
Mereka yang seluruhnya merupakan taruna tingkat 2 STIP Jakarta terancam hukuman 15 tahun penjara.
Dikutip Gridhot dari Kompas.com, Ni Nengah Rusmini, ibu dari taruna tingkat satu Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, Putu Satria Ananta Rustika (19), menyampaikan rasa kekecewaannya terhadap keluarga senior penganiaya putra sulungnya.
Akibat penganiayaan tersebut, putra yang dicintainya tersebut pulang dalam kondisi tak bernyawa. Rusmini juga kecewa lantaran keluarga tersangka tak pernah datang atau menghubungi mereka untuk menyampaikan belasungkawa.
"Paling tidak kasih tahu lah anaknya, ajarkan kasih sayang pada anaknya. Itu manusia loh bukan binatang, hal apa yang diajarkan sehingga kok bisa anak saya diperlakukan seperti itu," kata dia di rumahnya, Kamis (9/5/2024).
Rusmini mengatakan belum ada permintaan maaf dari keluarga pelaku.
"(Keluarga pelaku) belum (melayat) sampai sekarang. Saya wajahnya (pelaku) aja belum tahu, keluarganya ibunya dan ayahnya. Mungkin keluarga besarnya sama sekali enggak permintaan maaf ke keluarga kami. Kami sangat kecewa, enggak ada iktikad baik sama sekali," kata dia.
Rusmini berharap, tidak ada lagi korban kekerasan akibat tradisi senioritas di sekolah kedinasan di bawah naungan Kementerian Perhubungan tersebut.
Dia juga meminta semua pihak untuk mengawal proses hukum para pelaku agar anaknya yang menjadi korban mendapat keadilan.
"Masih terus berusaha mencari bukti baru biar ada tersangka lain. Ini sangat ganjil saya melihat jenazah anak saya banyak luka kok ini cuma satu orang (pelakunya) enggak mungkin," kata dia.
(*)
Source | : | Kompas.com,Warta Kota |
Penulis | : | Angriawan Cahyo Pawenang |
Editor | : | Angriawan Cahyo Pawenang |
Komentar