Find Us On Social Media :

Buntut Panjang Banjir Bandang di Ibu Kota, Anies Baswedan Digugat oleh Ratusan Korban, Pemprov DKI Jakarta: Biasa Saja Sih

Guberur DKI Jakarta Anies Baswedan di Kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, Kamis (2/1/2020).

Laporan Wartawan Gridhot.ID, Candra Mega

Gridhot.ID - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan digugat sekelompok masyarakat korban banjir yang melanda ibu kota pada awal tahun 2020.

Para korban bahkan sudah mendaftarkan gugatannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Melansir dari PMJNews, perwakilan tim advokasi banjir, Azas Tigor Nainggolan menyebut ada indikasi Anies Baswedan melanggar hukum.

Baca Juga: Ada Menteri Sosial di Lokasi Banjir Bekasi, Emak-emak Justru Semprot Pakai Omelan: Ngapain Datang Kalau Cuma Mau Selfie Doang!

Menurut Azas, hal itu karena tidak adanya peringatan dini kepada warganya akan datang banjir.

"Gugatan kami ini ditujukan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Pertanyaannya, apa sih dasar gugatannya, dasar gugatannya, Gubernur lalai dalam menjalankan kewajiban hukumnya," ungkap Azas di Jakarta, Senin (13/1/2020).

"Kewajiban hukumnya, harus melindungi warga Jakarta atau orang yang ada di Jakarta ketika itu supaya tidak berdampak buruk sekali dari banjir yang terjadi (pada awal Januari lalu)," sambungnya.

Baca Juga: Banjir di Jakarta Tak Kunjung Teratasi, Jokowi Langsung Ambil Alih Penanganan, Sebut Banjir di Ibu Kota Awal Tahun Ini Paling Parah

Azas mengatakan, jumlah warga yang ikut serta dalam gugatan class action ini terverifikasi mencapai 243 warga Jakarta.

Jumlah itu mewakili lima wilayah Jakarta.

Menurut dia, akibat banjir warga pun menanggung kerugian. Ia memprediksi mencapai Rp42,3 miliar.

Baca Juga: Rumahnya Terendam Banjir, Nyawa Ibu di Jakarta Utara Melayang Akibat Tersetrum Kulkas, Sang Bayi yang Masih Berusia 4 Bulan Nyaris Bernasib Sama

"Kurang lebih ini ada 243 warga korban banjir Jakarta. Ya di lima wilayah, kerugiannya ada sekitar Rp42,3 miliar yang menjadi materi gugatan," kata Azas.

 

Sementara, tim advokasi banjir Jakarta Alvon Kurnia Palma mengatakan gugatan kelompok oleh 243 warga terhadap Anies sama sekali tidak memiliki muatan politis.

"Anies itu sudah sering digugat. Kenapa ada orang berpikiran seperti itu? Kenapa gugatan ini dianggap sebagai sikap politik? Ini kan hak warga negara. Hak- hak orang yang tinggal di Jakarta," kata Alvon seperti dikutip dari Antara, Senin (13/1/2020).

Baca Juga: Ini Penampakan Camat Ciledug yang Usir Relawan Banjir Secara Arogan, Minta Maaf dan Ngaku Khilaf Usai Video Viralnya Dihujat

Warga yang ikut dalam gugatan bersama tim advokasi Banjir Jakarta dinilai telah dirugikan baik dari segi materiil maupun imateriil.

"Ada macam- macam kerugian. Baik dari barang, rumah, lalu secara imateriil masyarakat, jadi tidak bisa kemana-mana. Ini yang dicari kompensasi," kata Azas.

 

Azas mengatakan gugatan terhadap Anies Baswedan karena dianggap lalai dalam penanggulangan banjir yang seharusnya sudah diprediksi oleh pemerintah.

Baca Juga: Bersitegang Pendapat Soal Banjir Jakarta dengan Anies Baswedan, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono Minta Masyarakat Lihat Realisasinya: Saya Tidak Dididik untuk Debat!

"Karena banjir itu produk manusia, artinya bisa dikontrol dan diprediksi. Ya kalau terjadi kerugian dalam banjir, ya itu berarti ada kesalahan pemerintah," kata Azas.

Gugatan class action yang diajukan oleh Advokasi Banjir Jakarta ini berlandaskan Undang Undang 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

Menanggapi gugatan itu, Kepala Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta Yayan Yuhanah sebelumnya, mengatakan itu adalah hal yang biasa.

Baca Juga: Satu Keluarga di Jaktim Ditemukan Tewas, Keracunan Asap Genset di Dalam Rumah Tanpa Ventilasi, Diduga Tak Sabar Listrik Padam Saat Banjir

"Kami sudah sering menangani beberapa masalah, jadi (soal class action) biasa saja sih," kata Yayan di Balai Kota Jakarta.

 

Yayan mengatakan dalam menghadapi gugatan tersebut, dirinya sudah mempersiapkan tenaga hukum internal dengan opsi penggunaan tenaga ahli.

"Kami sudah siapkan tim hukum dari dalam, kalau memang perlu tenaga ahli, kita pakai tenaga ahli, ahli apa yang kami perlukan nanti akan dipanggil," ujar Yayan.

Baca Juga: Rezeki Nomplok! Pria Ini Mendadak Kaya Raya Usai Rumahnya Tenggelam Karena Banjir, Tak Sengaja Temukan Emas Saat Cuci Piring di Sungai

Pemanggilan tim ahli tersebut, kata Yayan, tergantung substansi kebutuhannya yang disesuaikan dengan gugatan 'class action' yang diajukan masyarakat.

"Kalau kaya hukum acaranya nanti kami sudah menguasai, kalau ada substansi-substansi, kita lihat dulu gugatannya, nanti akan dikaji. Mereka gugat apa, apa yang mereka ganti rugi, dasarnya apa, kerusakannya apa dan perlu ahli di bidang apa," ucap Yayan.

Sebelumnya, Anies meminta seluruh jajarannya di Pemprov DKI Jakarta untuk tidak mencari kabing hitam atas terjadinya banjir di wilayahnya.

Baca Juga: Jakarta dan Sekitarnya Terancam Cuaca Ekstrem Susulan, Anies Baswedan Sampaikan Terobosannya Antisipasi Banjir: Pakai Strategi Door To Door

"Saya sampaikan kepada seluruh jajaran tidak ada saling menyalahkan pada fase ini," kata Anies dikutip dari YouTube KOMPASTV, Rabu (1/1/2020).

"Tidak usah menyalahkan hujan, menyalahkan orang dalam fase ini. Pastikan seluruh warga Jakarta terselamatkan," tegasnya.

Anies masih meyakini naturalisasi sungai sebagai langkah untuk menangani banjir yang melanda ibu kota.

Baca Juga: Sedang Ada Rejeki Tahun Baru? Jangan Takut Isu Mobil Bekas Banjir Ramai Dijual, Momen Ini Jadi Waktu yang Paling Tepat Beli Kendaraan Bekas

Pernyataan Anies tersebut dinilai pakar Bioteknologi Lingkungan Universitas Indonesia, Firdaus Ali, sebagai cara berpikir yang keliru.

Menurut Firdaus, yang dibutuhkan Pemprov DKI Jakarta adalah menormalisasi sungai bukan menaturalisasinya.

Baca Juga: Hampir Temui Ajal, Bocah 14 Tahun Asal Deliserdang Dibakar Ibu Kandungnya Sendiri, Masih Dipukuli Saat Sedang Terbakar, Ternyata Hanya Gara-gara Tak Mau Jaga Toko Rumah

Dalam wawancara dengan Kompas TV, Rabu (1/1/2020), Firdaus menjelaskan banjir yang menimpa Jakarta awal tahun 2020 berbeda dari 2007.

Pada 2007, banjir yang menggenangi Jakarta disebabkan hujan deras di hulu Sungai Ciliwung, ditambah hujan lokal ditambah air laut di utara Jakarta pasang.

Sementara pada 2020, banjir di Jakarta karena cuaca ekstrem di mana intensitas hujan tinggi di hulu ditambah hujan deras di tingkat lokal.

Baca Juga: Rezeki Nomplok! Pria Ini Mendadak Kaya Raya Usai Rumahnya Tenggelam Karena Banjir, Tak Sengaja Temukan Emas Saat Cuci Piring di Sungai

Kata Firdaus, Pemprov DKI Jakarta harus membenahi normalisasi sungai, mengembalikan fungsi situ-situ, waduk, danau, drainase mikro dan mikro maupun penghubungnya.

Ia membenarkan beberapa dari 13 sungai di Jakarta menjadi wewenang Pemerintah Pusat seperti Ciliwung dan Pesanggrahan.

Namun, proses normalisasi menjadi tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta.

Baca Juga: Bersitegang Pendapat Soal Banjir Jakarta dengan Anies Baswedan, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono Minta Masyarakat Lihat Realisasinya: Saya Tidak Dididik untuk Debat!

"Sehebat apapun Pemerintah Pusat membantu, tetap peran pemerintah daerah menentukan sekali khususnya untuk relokasi dan pemindahan warga yang terdampak lahan normalisasi," terang Firdaus.

Ketika disinggung apakah langkah Anies benar yang mengatakan kunci mengatasi banjir adalah tergantung penanganan di hulu, Firdaus meluruskan.

"Tidak, salah. Gubernur Anies salah. Di hulu Pemerintah Pusat sedang kerjakan bersama Pemerintah Jawa Barat. Itu sedang kita kerjakan (membangun bendungan, red)."

Baca Juga: Banjir Jakarta Sudah Diprediksi Mbak You , Sebut Musibah Itu Hasil dari Pekerjaan Tidak Benar Selama Ini, Keributan Tak Bisa Dihindari Lagi

Ia menjelaskan kenapa normalisasi tak jalan karena Pemprov DKI Jakarta tidak mau membebaskan lahan.

Menurut orang-orang di lingkungan Pemprov DKI Jakarta mengatakan Anies lebih suka menggunakan naturalisasi.

"Bagi saya (naturalisasi seperti dimaksud Anies, red) mungkin ilmu saya belum sampai ke sana meski 34 tahun bergelut di bidang ini."

"Bahwa naturalisasi sah-sah saja kalau diterapkan di daerah yang tidak crowded di Jakarta, misalnya untuk di ibu kota baru. Normalisasi pilihan paling tepat, tidak ada pilihan yang lain," tegas dia.

(*)