Find Us On Social Media :

Nyawa Jadi Taruhan, Herlina Kasim Berani Menyusup ke Rimba Raya Papua, Rela Merangkak di Bawah Hujan Peluru Demi Merebut Irian Barat dari Belanda

Herlina Kasim dan tentara Indonesia.

Gridhot.ID - Nama Herlina Kasim mungkin asing ditelinga masyarakat Indonesia. 

Padahal, Herlina Kasim memiliki peran besar bagi NKRI khusunya soal misi khusus ke Irian Barat.

Herlina Kasim sempat nekat menemui Soeharto untuk ikut menyusup ke Irian Barat (sekarang Papua).

Baca Juga: Sarang Persembunyiaannya Diobrak-abrik TNI, KKB Papua Lancarkan Serangan Balas Dendam, Nahas Bukannya Menang, 2 Pemberontak Justru Tewas Ditembak Mati

Meski bukan seorang pria, hati Herlina ikut terketuk saat Ibu Pertiwi memanggilnya untuk ikut membebaskan Irian Barat dari Belanda.

Ia tercatat sejarah sebagai wanita pertama TNI yang dengan sukarela berjibaku di rimba perawan Irian untuk bergerilya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 5.40 pagi hari. Angin Mamiri yang akan membawa Herlina dengan teman-temannya menerobos ke Irian Barat masih terapung-apung di tengah laut.

Baca Juga: Jadi Suku Kanibal Tertua di Dunia yang Masih Ada di Bumi Ini, Warga Korowai Masih Makan Daging Manusia Hingga Detik Ini, Populasi 3000 Orang Hingga Hidup Tenang di Pedalaman Papua

Kompas tak ada, yang ada malah kabut tebal. Tidak ada jalan lain untuk masuk teluk dan harus menunggu sampai kabut agak reda.

Daripada menunggu di kapal, mereka turun sebentar. Alangkah kagetnya. Yang disinggahi justru pos tentara Belanda.

Untung tidak ada penjaga. Tanpa pikir panjang, mereka seketika kembali ke perahu.

Motor dihidupkan, terus meluncur. Arah dikira-kira saja, asal sudah bisa keluar dari lubang buaya.

Baca Juga: Berhasil Taklukkan Puluhan Perenang dari 32 Negara, Inilah Sosok Praka Nicholson P. Dinaulik, Prajurit TNI AU Asli Papua yang Harumkan Nama Indonesia di Lebanon

Fajar sudah mulai menyingsing, waktu mereka tiba di perairan musuh. Tanpa punya kompas mereka yakin sudah menuju ke arah yang benar.

Bendera Belanda dipasang, demi berhasilnya usaha mereka. Lihai, tetapi apa boleh buat.

Pulau Waigeo di mana sebagian dari Pasukan Gerilya (PG) 500 mendarat, sudah berada di depan mata. Namun di mana posnya?

Bendera merah putih biru diganti dulu dengan merah putih.

Baca Juga: Dapat Lampu Hijau dari DPD RI, Pemekaran Papua Sudah di Depan Mata, Nano Sampono Sebut Bumi Cendrawasih Idealnya Jadi 7 Provinsi

Sangat berbahaya, tetapi tidak ada jalan lain. Mereka sudah diberi pesan, di sekitar Pulau Waigeo harus menggunakan bendera Indonesia.

Salah-salah bisa diganyang oleh kawan sendiri.

Akhirnya mereka toh bisa bertemu dengan rekan-rekannya. Pos mereka di Teluk Arago.

Kapal tak dapat dinaikkan ke darat, karena sudah telanjur air surut. Padahal kapal sama dengan urat nadi.

Baca Juga: Bulat Tekad Wentius Nimiangge untuk Mundur dari Jabatannya, Hendrik Lokbere yang Dituding KKB Papua Dibunuh TNI Ternyata Sopir Sekaligus Ajudan Sang Wakil Bupati Nduga: Saya Kecewa Terus, Lebih Baik Jadi Masyarakat Biasa Daripada Saya Pusing

Tanpa kapal mereka tidak mungkin dapat berkutik. Lagi pula kapal tersebut dapat memberi petunjuk kepada musuh.

Tetapi sekarang tak ada jalan lain, daripada menunggu sampai sore hari.

Selama itu awak Angin Mamiri menggunakan kesempatan untuk terjun ke laut. Badan rasanya sudah ketat.

Beberapa hari tidak pernah menyentuh air. Baru enak-enaknya mandi, tiba-tiba ada seorang berteriak, "Kapal musuh!"

Kapalnya memang terlihat memakai bendera merah putih. Tetapi tidak mungkin kapal RI berlayar dengan seenaknya di perairan tersebut.

Baca Juga: Markas Persembunyiannya Dikira Bakal Dikirimi Rudal Jokowi, Egianus Kogoya Ngaku Telah Habisi 2 Nyawa TNI di Nduga, Padahal KKB Papua Cuma Tembak 1 Anggota Brimob

Herlina merangkak keluar di bawah hujan peluru. Bagaimanapun juga mereka yakin, Belanda tidak akan berani mendarat.

Hujan peluru

Letak Teluk Arago terlalu masuk ke darat dan pohon-pohon tumbang bergeletakan di mana-mana. Posisi mereka sekarang sangat berbahaya, oleh karena sudah diketahui musuh.

Satu-satunya jalan untuk mempertahankan diri ialah main kucing-kucingan di pulau-pulau kosong sekitarnya.

Apa yang harus mereka lakukan dalam keadaan segawat itu?

Baca Juga: Berjalan Kaki Bagai Roda Besi, KKB Papua Sebut TNI Bisa Mati Jika Mengejarnya, Lekagak Telenggen dan Pasukannya Tampak Menyusuri Hutan dan Pegunungan, Videonya Beredar di Media Sosial

Suara peluru terakhir baru saja lenyap, sewaktu Komandan J. Komontoy membuat rencana untuk meluncurkan sebagian pasukannya, agar musuh tidak terus-menerus menghadang mereka.

Sungguh suatu putusan yang sangat berani.

Dua puluh tiga orang yang akan ikut. Sisanya harus mengembara di hutan, termasuk Herlina.

"Sebulan lamanya kami mengembara di hutan belantara," kata Herlina.

"Juli 1962, kami mendarat di Irian Barat. Makanan yang dibawa sudah habis, binatang-binatang tak ada, kecuali kerang di tepi pantai."

Baca Juga: Gara-gara Warga Buang Air Kecil Sembarangan, Pecah Kerusuhan di Yahukimo Papua, Brigadir Hendra Saut Sibarani Gugur Diamuk Massa

"Itu pun harus dimakan mentah. Karena kami tidak boleh menyalakan api. Takut ketahuan musuh."

Herlina tidak doyan. Jadi terpaksa hanya minum air melulu, kalau tidak bisa menemukan makanan lain.

Pulau Waigeo tandus. Para gerilyawan pada umumnya warga masyarakat dari daerah sekitarnya. Mereka tidak mengalami kesulitan menu.

Penduduk setempat sudah biasa makan ikan mentah-mentah, segera setelah ditangkap.

Baca Juga: Eksekusi 3 Tukang Ojek Secara Keji, KKB Papua Justru Sebut Korbannya Anggota TNI Polri, Ada PT Freeport dalam Tuntutan Aksi Kawanan Lekagak Telenggen Kali Ini

Selama pengembaraan tersebut Herlina bertemu dengan wanita Irian Barat pertama, istri penunjuk jalan mereka, Domingus.

Herlina masih terkesan bila dia mengenang pengalaman mereka bersama.

"Kami mandi sama-sama di sungai, jalan bersama-sama." Ibu Domingus malah juga dia buatkan pakaian baru. "Padahal saya jarang memegang jarum dan benang."

Tentunya bukan dari bahan baru, hanya rok lama yang dipermak. Herlina masih geli kalau teringat akan hasil kerjanya. "Rupanya, jangan ditanya."

Baca Juga: Baru 3 Hari Prabowo Subianto Ditunjuk Jadi Menteri Pertahanan, KKB Papua Pimpinan Lekagak Telenggen Kembali Berulah, Tiga Tukang Ojek Tewas Ditembak Tepat di Kepala, Sayatan Senjata Tajam Penuhi Sekujur Tubuh Korban

Suatu hari Domingus datang menghadap. Apa gerangan yang dikehendaki?

"Ibu," katanya "... apakah rambut istri saya tak dapat dipotong seperti Ibu?"

Sungguh suatu permintaan yang sangat sukar. Pertama, karena rambutnya lebih keriting. Kedua, Herlina tidak pernah mengikuti kursus menata rambut.

Namun dia tak mau mengecewakan harapan Domingus.

Keesokan harinya mereka bersama menuju ke sungai untuk mencuci rambut dulu, seperti dalam salon benar-benar. Sesudah agak terurai, rambut istri Domingus dipotong model poni.

Baca Juga: Bikin Rusuh Papua Hingga Ngemis Bantuan ke Perdana Menteri Australia, Benny Wenda Ternyata Bukan Lagi Warga Negara Indonesia

"Saya tak berani memotong lebih dari itu. Takut menyalahi adat kebiasaan."

"Sisa rambut diikat ke belakang dengan tali serat pisang, seperti ekor kuda."

"Bagaimanapun juga, Domingus puas. Dengan bangga dia memperkenalkan istrinya kepada anggota pasukan lain."

"Selama di Irian Barat, saya tak pernah mengalami sesuatu yang kurang sedap dari siapa pun juga," Herlina menandaskan, "Dari orang-orang yang sedang mabuk maupun yang sadar."

Bukan sesuatu yang aneh, kalau dia dulu pukul 3 dini hari masih berada di tengah hutan belantara dengan pengendara jip.

Baca Juga: Buntut Ucapan Kata-kata Rasis di Depan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, Tak Hanya Danramil Tambaksari, 4 Oknum Anggota TNI Juga Diskors dan Diseret ke Pengadilan Militer

Dikalungi emas

Herlina orangnya memang berani. Waktu duduk di SMA dia sudah mempunyai angan-angan untuk mengelilingi Tanah Air.

Lamunan itu tak sekadar lamunan. Sesudah lulus dia benar-benar berangkat setelah mengikuti Tour de Java, naik sepeda bersama Dorine The. Rutenya, Jakarta - Jawa Timur - Bandung, sepanjang 1.900 km.

Apakah ada pengalaman yang mengesankan selama dalam perjalanan?

"Banyak sekali. Kesan utama ialah, bahwa tugas kita jauh dari selesai."

Baca Juga: Jadi Pimpinan KKB Paling Berbahaya di 'Segitiga Hitam' Papua, Lekagak Telenggeng Bolak-balik Eksekusi TNI dengan Keji, Sempat Tuding Militer Indonesia Pakai Bom Luar Negeri Hingga Nyatakan Siap Perang Lawan Aparat dan Jokowi

"Masih banyak daerah yang sangat terpencil, sehingga kurang hubungannya dengan dunia luas dengan segala macam konsekuensinya."

"Kesulitan bahasa pada umumnya tidak ada. Mereka semuanya sedikit banyak dapat berbahasa Indonesia berkat bersekolah di madrasah."

Indonesia memang sangat luas dengan penduduk yang beraneka ragam.

Di daerah Indragiri misalnya, wanita-wanitanya masih memakai tutup muka. Mereka juga hanya diperbolehkan keluar rumah di waktu malam.

Baca Juga: Putra Asli Negeri Cendrawasih, 150 Prajurit Infanteri TNI Ini Bakal Jadi Lawan Berat Egianus Kogoya, Pasukan Kunci untuk Kalahkan KKB Papua di Pertempuran Darat

"Bagaimana caranya menemui mereka," pikir Herlina.

Syarat mutlak untuk bisa mencapai hasil ialah, di mana-mana harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Jangan sekali-kali menyinggung perasaan penduduk setempat.

"Bila mereka hanya boleh keluar pada malam hari, baiklah pertemuan kami selenggarakan juga pada malam hari," pikirnya.

Para ibu dikumpulkan dan diberi "kuliah" tentang tugas dan kewajiban kaum wanita.

Apakah setelah "indoktrinasi" tersebut mereka akan tenggelam lagi dalam keadaan semula?

Baca Juga: Dikomandoi Egianus Kogoya, Kasus Pembantaian Puluhan Pekerja Jembatan di Nduga oleh KKB Kini Hadapi Persidangan, Lokasi Sengaja Dipindah dari Papua ke Jakarta, Ini Alasannya

Dalam hal ini Herlina sangat optimistis. "Masa dari sekian banyak wanita tidak ada satu pun yang berani memberontak?"

Pernah dia tiba di suatu daerah yang baru saja dilanda wabah influenza. Kebetulan dia membawa tablet antiinfluenza, yang segera saja dia bagi-bagikan.

Tetapi sebelum mereka mau menelan, Herlina harus memberi contoh dulu.

Mereka agaknya merasa takut kalau-kalau pendatang tersebut hanya ingin membuat gara-gara.

Namun ketika benar-benar bisa sembuh, kegirangan mereka tidak dapat dilukiskan. Herlina didukung-dukung dan dianggap "dewa" penyelamat.

Baca Juga: Jet Tempur Siluman Australia Siap Wira-wiri di Langit Papua, TNI AU Langsung Pesan Sukhoi Paling Canggih dari Rusia, Siaga di Skuadron Udara 11 Makassar, Memburu Pesawat-pesawat yang Sengaja Nyasar

Walau pun sudah mendapat gelar Srikandi Indonesia dan sudah pernah merasakan betapa beratnya pending emas yang dikalungkan di lehernya, di samping sedikit banyak juga ikut berjuang untuk kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, Herlina masih tetap saja Herlina biasa.

Sebagai informasi, Herlina sering dikaitkan dengan pending emas karena ia mendapat hadiah pending emas sebagai perempuan pertama yang didaratkan ke Irian Barat dalam usaha mengembalikan wilayah itu ke pangkuan RI.

Presiden Sukarno pun memberinya hadiah berupa emas yang berbentuk seperti "kendi kecil" yang disebut pending, beratnya sekitar 1-2 kg.

Baca Juga: Songong Pamer Persiapan HUT TPN-OPM, Panglima Perang KKB Papua Goliath Tabuni Justru Bocorkan Titik Lokasi Persembunyian Anggotanya Sendiri, Akankah Perayaan 1 Desember Tetap Terjadi?

"Perjuangan saya tak ada artinya," katanya. "Saya masih belum apa-apa."

Banyak yang sudah dialaminya sejak Herlina dilahirkan tanggal 24 Februari 1941.

Namun mungkin yang paling mengesankan ialah waktu dia tiba di Jakarta untuk pertama kalinya dari Irian Barat.

Pada saat yang sama kebetulan juga berlabuh sebuah kapal niaga Pelni. Mas Harkomojo, mualim kapal tersebut ternyata juga ingin menyongsong kedatangan Srikandinya.

Baca Juga: Jadi Pimpinan KKB Paling Berbahaya di 'Segitiga Hitam' Papua, Lekagak Telenggeng Bolak-balik Eksekusi TNI dengan Keji, Sempat Tuding Militer Indonesia Pakai Bom Luar Negeri Hingga Nyatakan Siap Perang Lawan Aparat dan Jokowi

Pertemuan yang menentukan bagi hari depan mereka.

Setelah perjuangan merebut Irian Barat berakhir, Herlina meniti karier di Kementerian Luar Negeri.

Hingga akhirnya dia meninggal dunia pada di RSPAD Jakarta pada Selasa malam, 17 Januari 2017, pukul 22.45 WIB di usia 75 tahun. (Ditulis oleh Jacob Oetama, dalam buku Sketsa Tokoh–Intisari)

Artikel ini pernah tayang di Intisari Online dengan judul: "Rela Dihujani Peluru Saat Dikirim untuk Menyusup ke Papua, Siapa Disangka Wanita Ini Punya Misi Ini."

(*)