Laporan Wartawan GridHot, Desy Kurniasari
GridHot.ID - Kasus penghapusan red notice Djoko Tjandra yang menyeret 2 jenderal polisi hingga kini masih terus bergulir.
Kedua jenderal polisi tersebut ialah Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo.
Keduanya didakwa menerima suap untuk menghapus red notice Djoko Tjandra yang diserahkan melalui perantara, yakni Tommy Sumardi.
Melansir TribunJabar.id, sebelumnya, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo disebut berebut jatah uang suap penghapusan Red Notice terpidana kasus korupsi hak tagih atau cessie Bank Bali, Djoko Tjandra.
Hal itu terungkap saat jaksa penuntut umum (JPU) membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/11/2020).
Jaksa penuntut umum mengungkap adanya permintaan uang tambahan oleh Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte untuk menghapus nama terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra) dari Daftar Pencarian Orang (DPO).
Hal itu tertuang dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/11/2020).
Menurut jaksa, bahwa uang suap dari Djoko Tjandra untuk menghapus namanya di Daftar Pencarian Orang (DPO) dilakukan di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta Selatan.
Perantara Djoko ialah pengusaha H Tommy Sumardi.
"Terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut dengan mengatakan 'Ini apaan nih segini, enggak mau saya. Naik, Ji, jadi 7, Ji, soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau', dan berkata 'petinggi kita ini'," ucap jaksa penuntut umum Zulkipli saat sidang.
Sementara itu, dilansir dari Serambinews.com, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur kembali menggelar lanjutan persidangan kasus surat jalan palsu Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra dengan terdakwa Djoko Tjandra, pengacara Anita Kolopaking, dan mantan Kepala Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo.
Dalam persidangan pada Jumat (6/11/2020) kemarin, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan sejumlah saksi, di antaranya Sri Rejeki Ivana Yuliawati dan dr Hambek Tanuhita.
Sri merupakan Perwira Administrasi Satuan Kesehatan Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pamin Satkes Pusdokkes) Polri, sedangkan dr Hambek adalah dokter Pusdokkes Polri.
Dalam persidangan itu, Sri membeberkan alasannya membuat surat keterangan bebas Covid-19 untuk Djoko Tjandra.
Awalnya, Sri menjelaskan permintaan surat keterangan bebas Covid-19 untuk Djoko Tjandra dan Anita Kolopaking itu disampaikan oleh asisten pribadi Prasetijo bernama Eti Wachyuni.
Namun Sri menjelaskan bahwa Pusdokkes Polri tidak bisa mengeluarkan surat tersebut untuk masyarakat umum.
"Saya ditelepon Eti, dia minta dibantu pembuatan surat bebas Covid. Eti bilang 'kalau orang umum boleh?'. Saya jawab 'tidak boleh'. Saya bilang kalau mau surat Covid pasiennya harus datang ke Pusdokkes," kata Sri saat bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Setelah itu, Eti bilang kepada Sri "Bapak mau bicara." Hakim Ketua Muhammad Sirad sempat meminta kejelasan kepada Sri ihwal siapa yang disebut sebagai 'Bapak' dalam percakapan tersebut.
Sri pun menjelaskan bahwa 'Bapak' dalam hal ini merujuk kepada Prasetijo. Menurut Sri, Prasetijo lantas menghubunginya secara langsung.
Setelah berbicara dengan Brigjen Prasetijo, Sri akhirnya meminta Eti untuk menyerahkan identitas yang ingin dibuatkan surat keterangan bebas Covid tersebut.
"Saya meminta data nama Bapak Prasetijo, terus diberikan data nama pekerjaan, alamat, jabatan, dan keperluannya apa," kata Sri.
Jaksa penuntut umum (JPU) Yeni Trimulayani pun bertanya kepada Sri atas nama siapa saja surat bebas Covid-19 itu dibuat.
"Atas nama Prasetijo Utomo, Anita Kolopaking, dan Joko Tjandra dan keperluannya untuk tugas dinas," jawab Sri.
Berangkat dari jawaban itu, hakim anggota Lingga Setiawan kemudian mencecar Sri soal alasanya tetap memproses pembuatan surat bebas Covid, padahal Djoko Tjandra dan Anita merupakan masyarakat umum dan tidak pernah diperiksa di Pusdokkes.
Sri mengakui dirinya terpaksa membuat surat tersebut karena takut kena sanksi mengingat Prasetijo merupakan petinggi di Korps Bhayangkara.
"Karena Pak Prasetijo itu adalah petinggi di Polri, kalau saya tidak laksanakan saya takut kena sanksi. Dia petinggi Polri, Pak. Dia bisa komplain ke pimpinan," jawab Sri.
"Kenapa Saudara takut?" tanya hakim lagi.
"Instansi Polri itu harus loyal," kata Sri.
"Loyal meski salah?" cecar Lingga.
Sri hanya diam tak bisa menjawab. Hakim semakin geram dan terus mencecar Sri soal maksud dari loyal yang diucapkannya.
"Yang dimaksud dengan loyal itu selalu menuruti perintah atasan, ya?" tanya Lingga lagi.
"Kami selalu memberikan pelayanan kesehatan," jawab Sri.
"Tapi ini kan prosedurnya salah? Apa memang setiap permintaan harus dilayani walau salah? Apa yang menjadi alasan memenuhi kehendak mereka? Kalau hanya brigjen, belum masuk di akal saya, apa kultur Polri seperti ini?" cecar hakim.
Bukan hanya terhadap Sri, hakim juga mencecar dr Hambek soal penerbitan surat bebas Covid-19 Djoko Tjandra. Hambek dicecar soal alasannya menandatangani surat bebas Covid Djoko Tjandra tersebut.
"Kalau tidak pernah memeriksa, kenapa memberikan tanda tangan. Dasarnya apa, sehingga Saudara langgar SOP?" tanya Lingga.
"Saya pikir itu atensi pimpinan, jadi saya berpikirnya seandainya kita laksanakan itu," kata dr Hambek.
Dalam persidangan ini, Brigjen Prasetijo bersama Djoko Tjandra dan Anita Kolopaking didakwa bersama-sama memalsukan surat untuk kepentingan beberapa hal. (*)