Laporan reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade Prasetyo
Gridhot.ID - Tradisi bulan ramadan tak bisa dilepaskan dari bunyi tetabuhan beduk dan kentongan.
Suara tetabuhan itu sangat sarat dengan makna dan ternyata telah menjadi tradisi sejak jaman dahulu kala.
Yang paling familiar di masyarakat tentang bunyi tetabuhan ini adalah didengar ketika menjelang sahur dan buka puasa.
Baca Juga : Viral! Ibu-Ibu Komplek Zaman Now Aransemen Lagu Kill This Love Blackpink Versi Ramadan
Lalu apa sebenarnya makna yang ada dibalik suara tetabuhan itu?
Dilansir Gridhot.ID dari web resmi nu.or.id, dijelaskan bahwa menurut sejarahnya tradisi tetabuhan itu merupakan warisan bagi umat muslim di Indonesia yang sarat makna.
Tradisi tetabuhan itu sering juga disebut 'Tedur'.
Tedur adalah peninggalan Wali Songo yang masih dilestarikan hingga sekarang.
Bahkan saat masa penjajahan, tedur turut berperan mengusir penjajah.
Pada masa awal perkembangan Islam di pulau Jawa, beduk dan kentongan menjadi penanda masuknya waktu shalat.
Ketika beduk dan kentongan dipukul, orang kemudian berbondong-bondong ke masjid atau musala untuk melaksanakan shalat berjamaah.
Meski saat ini zaman sudah berubah dengan banyaknya peralatan modern sebagai pengganti beduk atau kentongan, namun peninggalan para pendahulu tidak serta merta ditinggalkan begitu saja.
Sesuatu yang baik layak dilestarikan sebagai pengingat sejarah.
Begitu pula di beberapa pondok pesatren di Indonesia tradisi ini masih di pertahankan.
Baca Juga : Tidak untuk Mencuri, Maling Ini Masuk Rumah Justru Cucikan Piring Pemilik Rumah Lalu Pergi
Salah satunya di Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan.
Tetabuhan beduk dan kentongan mengalun ritmik dari Masjid Shiddiq Zarkasyi Kompleks Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan setiap tengah malam selama bulan Ramadhan.
"Dengan melestarikan tradisi Wali Songo yang sangat baik ini, akan membuat pahala para wali yang menciptakan beduk dan kentongan sebagai pemanggil shalat terus mengalir," kata pengasuh Ponpes An-Nawawi KH Achmad Chalwani.
Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah ini menuturkan, selain menjadi penanda waktu shalat, beduk dan kentongan ini juga ditabuh dalam momentum-momentum tertentu.
Baca Juga : Ibunya Sibuk Mengangkat Telepon, Seorang Balita Tewas Terlindas Truk Saat Asik Bermain
Seperti menjelang Ramadhan, sepanjang tengah malam selama Ramadhan, menjelang hari raya baik Idul Fitri maupun Idul Adha.
Tetabuhan momentum-momentum tertentu itulah yang disebut tedur.
"Kalau di sini ketukan pukulan beduk dan kentongan antara waktu shalat satu dengan yang lain berbeda-beda. Kalau tedur, pukulannya lebih ritmik," terangnya.
Baca Juga : Fenomena Setan Gundul, Pernah Hantui Kejayaan Orde Baru dan Muncul Kembali Usai Pemilu 2019
Ketika ditanya asal muasal nama tedur, KH Chalwani mengaku tidak begitu paham. Nama itu telah turun temurun dipakai sejak zaman dahulu.
Di Purworejo Jawa Tengah, tradisi tedur tidak hanya dilakukan di Berjan saja.
Namun Pesantren dan masjid di desa-desa juga banyak yang melakukannya.
"Memang saat ini, tedur tidak lagi sesemangat zaman dulu. Maka di An-Nawawi saya memberikan penekanan kepada para santri agar tedur tetap dilestarikan agar tidak punah termakan zaman," ujarnya.
Dalam perjalanan sejarahnya, tedur pernah berjasa turut serta berperan mengusir penjajah Belanda.
Ceritanya, saat tentara Belanda melakukan patroli, dari kejauhan terdengar suara beduk ditabuh.
Kemudian para tentara itu berhenti dan bertanya kepada warga perihal suara tedur yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan.
Dijawablah oleh warga jika suara itu adalah suara santri sedang tedur.
"Mendengar jawaban tersebut, Belanda ketakutan dan berkata keheranan sambil balik kanan, tedurnya santri aja kayak gitu, kalau bangun terus gimana, ya?" tiru KH Chalwani, diikuti gelak tawa para santri.
Menurutnya, itu cerita turun-temurun yang ia meyakini kebenarannya sebagai bagian dari keistimewaan tradisi tedur.(*)